Pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir selalu menunjukkan angka yang
positif. Data BPS menunjukkan angka pertumbuhan berkisar antara 4 – 6 persen
sejak tahun 2002. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 tercatat sebesar 6,23 persen. Konsumsi
domestik dan investasi menjadi penyumbang utama pertumbuhan.[1]
Hal tersebut memang menunjukkan angka yang menggembirakan. Permasalahannya
apakah pertumbuhan ekonomi tersebut akan berlangsung terus dan juga apakah
pertumbuhan ekonomi tersebut didasari oleh fundamental perekonomian Indonesia
yang bagus, serta juga ditopang oleh sistem perekonomian yang mumpuni?
Sejak Indonesia merdeka, sejarah
telah mencatat jatuh bangunnya kondisi perekonomian Indonesia. Jatuh bangunnya
kondisi perekonomian Indonesia tersebut hampir selalu diiringi oleh jatuh
bangunnya rezim kekuasaan di Indonesia. Ini berarti kondisi politik dan kondisi
perekonomian Indonesia mempunyai hubungan timbal balik yang erat. Pengamatan
analitis terhadap perjalanan sejarah Negara-Bangsa Indonesia didalam mencari
sistem ekonomi yang dinilai cocok bagi keperluan menggerakkan pembangunannya
memperlihatkan, bagaimana didalam garis besarnya upaya-upaya itu ternyata
banyak sekali didikte oleh upaya pencarian sistem politik dan oleh keputusan-keputusan
yang lebih tinggi tingkatannya yang muncul dari upaya pencarian landasan
normatif bagi kehidupan negara-bangsa[2].
Pencarian Sistem Ekonomi Indonesia
pada Periode 2014 - 2024
Seperti telah dikemukakan di atas,
sebuah sistem perekonomian Indonesia tidak lepas dari kondisi politik yang
berlangsung pada perdiode tersebut. Pada periode tahun 2014 – 2024, Indonesia hampir
dipastikan akan memasuki era kepemimpinan baru. Presiden SBY akan menyelesaikan
masa jabatan kedua pada tahun 2014, dan akan dipilih presiden yang baru.
Pada 2014 yang akan datang,
Indonesia menghadapi Pemilu ke-3 yang terbuka dan langsung untuk memilih
Presiden/Wakil Presiden untuk periode 2014 – 2019. Pemili ini akan merupakan
titik “cut-off” bagi sebagian besar generasi abad ke-20, termasuk generasi ’66
baik yang di pihak sipil maupun di pihak militer. Pada saat itu sekitar 50 juta
pemilih akan merupakan “Pemilih Pemula” (First
Voters), yakni yang berusia 17 sampai dengan 23 tahun. Dapat
diantisipasikan bahwa Generasi Milenium ini tak akan memilih Presiden yang
berusia tua, karena mereka mendambakan perubahan yang lebih jauh, yang bebas
dari ‘sisa-sia KKN Orba” yang masih terasa keberadaannya di tengah era Reformasi
sejak 1998. Dapat diyakini pula mereka tak akan menjadi “Golput” seperti yang
terjadi dalam skala besar pada saat pemilu 2009, dan akan menggelindingkan
gerakan-gerakan baru yang dasyat untuk membawa NKRI tahapan “Tinggal Landas”
yang sudah sekian lamanya tertunda.[3]
Untuk melihat sistem perekonomian
pada periode 2014 – 2024 tersebut, setidaknya kita juga harus melihat sistem
dan kondisi perekonomian periode-periode sebelumnya. Untuk mempersingkat
tulisan ini, penulis akan memperlihatkan kondisi sistem perekonomian pada era
orde baru dan era reformasi sekarang ini saja.
1. Periode
Orde Baru
a. Sistem
Politik
Pemerintahan Orde Baru
cq ABRI menghabisi peranan PKI dan sayap kiri ikutannya di seluruh sistem
politik, dimulai di semua tingkatan lembaga
legislatif dan eksekutif. Dengan menyertakan Doktrin Dwi Fungsi ABRI dilakukan
proses depolitisasi dan pengenaan sistem “floating
mass”. Peranan Parpol dibatasi dengan memaksakan penggabungan
parpol-parpol, dan Golkar dijadikan partai negara (State Party). Indoktrinasi P4 dilakukan secara nasional dan dengan
lebih sistematis dibandingkan pada era Demokrasi Terpimpin. Lewat sistem
kekaryaan personalia ABRI disebar di seluruh tingkatan pemerintahan dan lembaga
legislatif.
b. Sistem
Ekonomi
Mengikuti model “Nippon Inc”, kepada swasta domestik dan
asing diberikan keleluasaan kembali lewat UU PMA 1967 dan UU PMDN 1968. BI dan
Bank-Bank BUMN digunakan mendanai skim ini. Pada waktu yang sama kelompok
teknokrat, lewat basisnya di Bappenas, mengupayakan pengerahan kebijakan
pembangunan yang menyeluruh dengan menggunakan Repelita-demi-Repelita. Dua kali
“Oil Boom” (1974, 1978) digunakan
untuk mengakselesarikan laju pertumbuhan ekonomi, antara lain dengan
melaksanakan pembangunan prasarana berskala besar. Kerjasama multilateral IGGI
digunakan secara luas di dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
c. Konteks
Ekonomi-Politik Global
Proses libelarisasi
perekonomian dunia terus dipacu dengan menggunakan lembaga multilateral IMF,
WB, GATT (kemudian WTO). Pada waktu yang sama puluhan FTA, baik yang bilateral
maupun yang regional, dibangun untuk memperkuat liberalisasi tersebut.
d. Gambaran
Ekonomi Makro dan Keadaan Kelembagaan ekonomi dan Bisnis Indonesia
Pertumbuhan ekonomi
ditandai oleh industrialisasi yang bersifat subtitusi-impor (ISI), yang
didukung oleh modernisasi sektor pertanian pangan. Eksploitasi sumber-sumber
alam, termasuk hutan tropis, mulai menyuburkan praktek “rent economy”. Di dalam gabungannya dengan skim pendanaan oleh
Bank-Bank BUMN dan KLBI telah memunculkan sejumlah konglomerat, yang pada
gilirannya merupakan mitra dari penguasa/elit Orba. Proses ini telah semakin
mempersempit ruang gerak UMKM, khususnya yang berlokasi di pedalaman dan/atau
jauh dari ibu kota serta kota-kota besar utama lainnya. Mengalirnya dana
jangka-pendek dar luar ke sektor keuangan dan perbankan Indonesia telah
mendesak diberlakukannya sistem “open
capital account”, yang mendorong lebih kuat lagi ekspansi konglomerat tadi.
2. Periode
Reformasi
a. Sistem
Politik
Krisis
berat yang menjatuhkan pemerintahan Orba telah menciptakan “gelombang pasang”
Reformasi, yang diikuti Demokratisasi dan Desentralisasi. Proses pemretelan
kekuasaan eksekutif di tingkat pusat telah menumbuhkan pusat-pusat kekuasaan
baru. Di pusat: kekuasaan DPR semakin mengemuka. Di daerah-daerah kekuatan
Pemda Kab./Kota semakin menyudutkan kekuasaan Gubernur. Demikian pula Dwi
Fungsi ABRI berakhir, dan peranan Golkar semakin memudar. Proses politisasi
telah bangkit kembali di semua bidang kehidupan.
b. Sistem
Ekonomi
Krisis
yang melanda konglomerat-konglomerat Indonesia telah memperkuat peranan swasta
asing, terutama MNCs. Daya saing BUMN-BUMN semakin memudar, sebagai akibat
proses korporitasasi yang membongkar keberadaan dan kelemahan-kelemahan
struktural dan kelembagaaan kelompok ini. UMKM lagi-lagi terancam kehilangan
ruang geraknya, antara lain akibat Usaha menengah PMA mulai masuk ke
sektor-sektor modern Indonesia. Kerjasama RI-IMF dan lewat CGI telah membatasi
ruang gerak fiskal-moneter pemerintah RI.
c. Konteks
Ekonomi-Politik Global
Proses
globalisasi dan perkembangan kapitalisme telah muncul sebagai proses
globalisasi dari kapitalisme keuangan. Semakin merebaknya ICT telah menjaring
bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan di banyak negara ke dalam sebuah
struktur yang didominasi oleh pasar uang dan modal New York-London-Tokyo.
Kegiatan spekulasi di pasar-pasar komoditi, properti, currency, dan equity
telah menimbulkan ketidakpastian di seluruh dunia. Kemampuan IMF/WB/WTO dan
kelompok G-7 untuk mengendalikan ekonomi dunia telah semakin terancam. Hal ini
mencuat utamanya di sektor keuangan global yang semakin bersifat jangka pendek.
d. Gambaran
Ekonomi Makro dan Keadaan Kelembagaan ekonomi dan Bisnis Indonesia
Krisis
perbankan 1997-1998 telah memicu krisis keuangan yang meluas, yang diikuti oleh
krisis ekonomi, krisis sosial, lalu kriris politik – yang memicu tragedi Mei
1998. Kondisi perekonomian semakin memburuk ke tingkat yang terparah di antara
negara-negara Asia yang terkena Krisis Asia. Pengangguran dan kemiskinan semakin
meluas, yang hampir menyerupai sebuah krisis struktural. Kebijakan sistem
ekonomi makro yang tampak sejak tahun 2003/3004, tidak berhasil mengurangi
secara berarti jumlah kemiskinan dan pengangguran tersebut. Juga tampak,
bagaimana laju pertumbuhan ekonomi tidak mampu menembus angka 6 persen PDB
setiap tahunnya. Daya saing Indonesia tampak semakin surut, terutama di sektor
industri manufaktur yang mengalami proses de-industrialisasi.[4]
Sistem
Perekonomian Indonesia yang Siap Mendukung Sishankam 2014 – 2024
Sistem
pertahanan dan keamanan (Sishankam) pada periode 2014 – 2024 yang diterapkan
tentunya harus mengacu pada ancaman aktual yang terjadi pada periode tersebut.
Salah satu upaya mengantisipasi ancaman aktual tersebut, Kementerian Pertahanan
Indonesia telah menciptakan program Minimum
Essenstial Force (MEF).
Dalam
buku MEF Kementerian Pertahanan disebutkan bahwa ancaman terhadap pertahanan
dan keamanan dalam lingkungan strategis dapat terjadi pada lingkup nasional,
regional dan global. Adapun ancaman yang bersifat aktual antara lain: 1)
terorisme, 2) separatisme, 3) pelanggaran wilayah perbatasan dan pulau-pulau
terluar, 4) bencana alam, 5) berbagai ragam kegiatan ilegal, 6) konflik
horisontal, dan 7) kelangkaan energi. Sedangkan ancaman keamanan yang bersifat
potensial meliputi: 1) pemanasan global, 2)berbagai ragam pelanggaran ALKI, 3)
pencemaran lingkungan, 4) pandemik, 5) krisis finansial, 6) cyber crime, 7) agresi militer asing,
dan 8) krisis pangan dan air.[5]
Dari
proyeksi ancaman tersebut diatas, dapat dilihat bahwa sistem pertahanan dan
keamanan yang dibangun Indonesia setidaknya harus mampu menjawab ancaman
tersebut diatas. Untuk itu diperlukan kekuatan pertahanan dan keamanan yang
mumpuni yang harus ditopang oleh kemampuan perekonomian negara. Karena untuk
membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang mumpuni diperlukan biaya dan
anggaran yang cukup serta terjaga kelangsungannya.
Meskipun
lima tahun awal pelaksanaan reformasi, kondisi perekonomian Indonesia belum
menggembirakan, tetapi sejak tahun 2000 dengan pertumbuhan ekonomi yang terus
meningkat, Indonesia yang sekarang menurut McKinsey Global Institute adalah
negara dengan ukuran perekonomian urutan 16 di dunia, akan menjadi 7 besar
perekonomian dunia pada tahun 2030.
Dengan
gambaran kemampuan ekonomi diatas, potensi Indonesia untuk menjadi pemimpin
yang disegani dan menjadi penentu di kawasan regional Asia Tenggara menjadi
semakin nyata. Sedangkan untuk kawasan Asia, Indonesia akan menjadi kekuatan
baru untuk menyaingi negara-negara dengan kemampuan ekonomi yang kuat di Asia lainnya,
yaitu: Jepang, Korea Selatan, China dan India.
Krisis
ekonomi yang terjadi di Amerika dan Eropa ternyata tidak berdampak pada
sebagian negara-negara di kawasan Asia. Pertumbuhan ekonomi yang melambat di
kawasan Amerika dan Eropa tersebut justru membuat negara-negara dengan laju
pertumbuhan ekonomi yang positif seperti China dan India dan Indonesia, semakin
mendekati perekonomian negara-negara maju di Amerika dan Eropa tersebut.
Prasarat
untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang terus positif tersebut dapat
terlaksana karena sebagai sebuah negara demokrasi Indonesia akan mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan internal yang dihadapinya. Iklim demokrasi
tersebut akan mampu mengoreksi kesalahan-kesalahan yang dialami dalam sistem
sosial dan sistem pemerintahan yang ada. Dengan adanya kemajuan teknologi
informasi dan era keterbukaan dalam mengemukakan pendapat, maka setiap penyimpangan
akan secara bersama-sama dikoreksi oleh masyarakat. Partisipasi kalangan
menengah yang mempunyai pengetahuan lebih serta diikuti oleh tingkat kepekaan
sosial yang terus tumbuh, akan membuat perbaikan-perbaikan terhadap sistem yang
menyimpang menjadi semakin mudah dilaksanakan. Contoh kasus adalah, gerakan
sejuta pendukung dalam jejaring sosial untuk kasus ‘cicak vs buaya’ dalam
mendukung KPK, telah sukses memberikan penguatan terhadap KPK untuk memberantas
korupsi.
Walaupun
kekuatan modal mungkin dapat menguasai sumber daya – sumber daya tertentu,
tetapi kekuatan modal tersebut tidak akan bisa dengan leluasa mengontrol
masyarakat yang ada, karena era keterbukaan informasi akan mengkoreksi upaya
penguasaan tersebut secara perlahan-lahan. Akan tetapi angka kesenjangan sosial
sebagai akibat pertumbuhan ekonomi pada pemilik modal, harus segera diatasi
dengan langkah-langkah pemerataan yang konkrit. Upaya penerapan pajak progresif
dan memberikan subsidi kepada yang lemah akan mengurangi angka kesenjangan
sosial tersebut.
Maka
pada periode 2014 – 2024, dengan catatan pelaksanaan pemilu 2014 dapat berjalan
dengan lancar dan mampu menghasilkan kekuatan kepemimpinan baru yang didukung
oleh generasi baru Indonesia, maka rezim pemerintahan yang ada mempunyai
legitimasi yang besar untuk melaksanakan program-program pembangunan yang
dirancangnya. Dengan fundamental ekonomi yang telah dibangun pada periode
sebelumnya, maka sinergi antara pemerintah dan kekuatan pasar di sektor swasta
akan membuat akselerasi perekonomian Indonesia semakin stabil dan cepat. Sistem
mixed economy yang telah dilaksanakan
pada era sekarang ini dapat berjalan dengan lebih baik karena
institusi-institusi perekonomian yang terlibat didalamnya sudah lebih dewasa
dalam menjalankan fungsinya. Maka bukan tidak mungkin cita-cita agar Indonesia
mampu “tinggal landas” dan menjadi negara maju dapat terwujud pada periode
tersebut.
Daftar
Pustaka
Kuntjoro-Jakti,
Dorodjatun, “Menerawang Indonesia pada
Dasawarsa Ketiga Abad ke-21”, Pustaka Alvabet, Maret 2012. Hal 149
Kuntjoro-Jakti,
Dorodjatun, “Periode Pasca-Pemilu 2014
adalah Peluang Terakhir NKRI untuk Tinggal-Landas”, Presentasi pada Acara
Peluncuran Buku The Financial Club, Jakarta, 10 April 2012, hal 10 – 11
Kementerian
Pertahanan Republik Indonesia, “Minimum
Essential Force Komponen Utama”, Jakarta, 2010, hal 11 – 12
McKinsey
Global Institute, dalam “A look into the
future Indonesia”, oleh Prof.
Suahazil Nazara, materi perkuliahan
Comparative of Economic System, Ekonomi Pertahanan, Universitas Pertahanan, 6
Februari 2013
BPS: Ekonomi RI Tumbuh 6,23 Persen di 2012”,
diakses dari http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/02/05/mhqgh2-bps-ekonomi-ri-tumbuh-623-persen-di-2012, pada tanggal 9 Februari 2013 pukul 22:30 WIB
[1] “BPS: Ekonomi RI Tumbuh 6,23 Persen di 2012”, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/02/05/mhqgh2-bps-ekonomi-ri-tumbuh-623-persen-di-2012,
pada tanggal 9 Februari 2013 pukul 22:30 WIB
[2] Prof. (Emiritus) Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, Ph.D, “Menerawang
Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21”, Pustaka Alvabet, Maret 2012.
Hal 149
[3] Prof. (Emiritus) Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, Ph.D, “Periode
Pasca-Pemilu 2014 adalah Peluang Terakhir NKRI untuk Tinggal-Landas”,
Presentasi pada Acara Peluncuran Buku The Financial Club, Jakarta, 10 April
2012, hal 10 - 11
[4] Prof. (Emiritus) Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, Ph.D, opcit hal 156-157
[5] Kementerian Pertahanan Republik
Indonesia, “Minimum Essential Force
Komponen Utama”, Jakarta, 2010, hal 11 – 12
[6] McKinsey Global Institute, dalam
“A look into the future Indonesia”, oleh Prof. Suahazil Nazara, materi perkuliahan Comparative of Economic
System, Ekonomi Pertahanan, Universitas Pertahanan, 6 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar