Pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Umar Kayam yang
dibacakan 20 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 19 Mei 1989, ternyata masih relevan
dan mampu mengungkapkan kondisi faktual yang terjadi sekarang ini. Kondisi
negara dan bangsa Indonesia yang walaupun secara fisik telah merdeka tetapi
dalam kenyataannya sekarang ini “terjajah” kembali. Ketergantungan yang begitu
besar terhadap asing baik di bidang ekonomi, teknologi dan juga budaya,
menunjukkan ketidakmampuan bangsa Indonesia menghadapi invansi budaya barat
yang sekarang sedang mencekeram dunia. Keterpurukan Indonesia sekarang ini oleh
Prof. Dr. Umar Kayam dikatakan sebagai ketidakmampuan bangsa Indonesia
melakukan transformasi budaya.
Dialog
budaya barat dengan budaya lokal tidak
berjalan dengan baik karena adanya pemaksaan
budaya lewat penjajahan. Sejarah bangsa Indonesia dengan masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya merupakan proses transformasi budaya yang baik yang menghasilkan sintesa budaya yang sangat mengesankan. Kejayaan Sriwijaya ditopang dengan sintesa budaya yang berlangsung mulus antara Sriwijaya dan Budha Mahayana, dialog budaya antara Jawa Tengah dengan Budha Mahayana dan Hindu-Siwa, kemudian dialog budaya Jawa Timur dengan Hindu-Wisnu yang mencapai puncaknya pada kelahiran Majapahit.
budaya lewat penjajahan. Sejarah bangsa Indonesia dengan masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya merupakan proses transformasi budaya yang baik yang menghasilkan sintesa budaya yang sangat mengesankan. Kejayaan Sriwijaya ditopang dengan sintesa budaya yang berlangsung mulus antara Sriwijaya dan Budha Mahayana, dialog budaya antara Jawa Tengah dengan Budha Mahayana dan Hindu-Siwa, kemudian dialog budaya Jawa Timur dengan Hindu-Wisnu yang mencapai puncaknya pada kelahiran Majapahit.
Dalam
konteks kekinian krisis multi dimensi yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia
sekarang ini bisa dikatakan karena faktor-faktor seperti yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Umar Kayam tersebut, yaitu tidak berjalannya dialog budaya yang baik
dari kebudayaan barat karena budaya barat memasuki Indonesia dengan konflik
bersenjata. Transformasi budaya yang terjadi adalah penyesuaian dari pihak kita
terhadap idiom budaya yang dipaksakan oleh Belanda. Belanda mendiktekan konsep beambtenstaat, kita menyesuaikan dengan
memanfaatkan system nilai agraris feudal yang sosoknya telah kita bangun sejak
jaman pra-Hindu. Sudah barang tentu hal tersebut bukan suatu sintesa budaya.
Suatu sintesa budaya selalu mengandaikan “to
take and give” yang seimbang dari kedua belah unsure dan menghasilkan suatu
kebudayaan yang baru. Yang terjadi adalah kita telah mengalami involusi budaya selama masa penjajahan.
Pembangunan
yang terjadi sekarang ini juga kurang memperhatikan subtantif dari tujuan
pembangunan tersebut, karena kebanyakan birokrasi/pemerintahan memandang
pembangunan sebagai sebuah proyek, bukan tujuan dari pembangunan tersebut. Di
sisi lain pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa sekilas
bertujuan untuk menunjukkan bahwa pada masa pemerintahannya negara dan bangsa
berjalan dengan baik dan maju. Jadi orientasi pembangunannya hanya jangka
pendek tanpa melihat efek jangka panjangnya. Hal tersebut sama persis dengan
kondisi masa penjajahan Belanda dimana raja-raja yang takluk terhadap kekuasaan
Belanda melaksanakan proses ceremonial yang memakan biaya yang besar hanya
sekedar untuk menunjukkan bahwa raja masih berkuasa dan bisa menyelenggarakan
sebuah acara yang besar meskipun memakan biaya yang tidak sedikit dan
manfaatnya kurang dirasakan oleh masyarakat.
Kekalahan
bangsa Indonesia terhadap barat pada awal kedatangan bangsa barat bukan karena
bangsa Indonesia pada waktu itu belum mempunyai teknologi persenjataan yang
modern. Kerajaan-kerajaan pada waktu itu juga sudah mempunyai meriam dan
angkatan perang yang cukup memadai. Tetapi perlakuan terhadap meriam dengan
mengkultuskan meriam-meriam tersebut dan diberi nama kyai, menunjukkan ketidakrasionalan
konsep pemikiran bangsa Indonesia. Dalam kondisi sekarang ini bangsa Indonesia
juga masih melihat sesuatu masalah dengan pendekatan yang tidak rasional,
contohnya seperti kejadian bencana alam yang bertubi-tubi mendera bangsa
Indonesia yang dikaitkan dengan dosa yang diperbuat oleh bangsa dan para
pemimpinnya, atau juga dikaitkan dengan tumbal karena bangsa Indonesia telah
memilih pemimpin yang keliru. Padahal bencana tersebut terjadi karena ulah
manusia sendiri yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya sehingga
terjadi banjir, tanah longsor dll. Dan gempa yang sering melanda Indonesia
terjadi karena memang letak geografis dari negara Indonesia yang berada di ring of fire yang jelas-jelas dikatakan
sebagai kawasan rawan gempa.
Posisi
Indonesia yang strategis yang terletak diantara dua benua dan dua samudera
merupakan perintah sejarah yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan maksimal
oleh bangsa Indonesia. Sriwijaya dan Majapahit yang menyadari benar terhadap
kondisi tersebut mampu memanfaatkan posisi tersebut sehingga mampu memperoleh
kejayaan. Sriwijaya dan Majapahit yang menyadari benar bahwa bangsa Indonesia
dengan posisi strategisnya harus mempunyai kekuatan maritim yang mumpuni untuk
menjaga wilayahnya. Bangsa Indonesia sekarang ini sepertinya kurang memahami
konsep strategis geopolitik tersebut. Konsep geopolitik tersebut hanya sebagai
wacana dan bahan penelitian dan pengajaran semata tetapi dalam prakteknya
terabaikan. Konsep pembangunan bangsa Indonesia lebih mengedepankan kepentingan
politik dari golongan tertentu tanpa memperhatikan aspek latar belakang dan
tujuan dari pembangunan tersebut.
Terhadap
kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, seperti yang telah saya
ungkapkan dimuka, orientasi pembangunan yang terjadi sekarang hanya berjangka
pendek. Maka pemerintahan yang berkuasa sekarang berlomba-lomba menjual
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia untuk dapat memperoleh
uang dalam waktu singkat, sehingga dapat dikatakan pada masa pemerintahannya penguasa
tersebut bisa mensejahterakan rakyatnya. Mereka tidak terlalu peduli dampak
jangka panjang dari kebijakan yang diambil.
Kesimpulannya
kondisi keterpurukan multi dimensi yang terjadi di Indonesia sekarang ini
sebagai bentuk ketidakmampuan bangsa Indonesia menyesuaikan idiom budaya barat
yang selalu dianggap modern sehingga bangsa Indonesia selalu merasa berada
dibawah jika dibandingkan dengan budaya barat.
Bisa minta naskah lengkap Pidato Prof Umar Kayam, Makasih
BalasHapus