Korupsi dan kekerasan seolah tidak
pernah lepas dalam sejarah bangsa Indonesia. Begitu mengakarnya kebiasaan
negatif tersebut sehingga sudah banyak orang menyebutnya sudah menjadi budaya
bagi bangsa Indonenesia. Kedua masalah tersebut menggerogoti kehidupan bangsa
Indonesia semenjak jaman dulu sampai sekarang ini. Bahkan akhir-akhir ini topik
korupsi begitu mengemuka dan menjadi perbincangan utama dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Bila kedua
masalah tersebut terus dibiarkan dan tidak ada upaya untuk mereduksinya maka
dikemudian hari akan menjadi masalah yang mengancam keberlangsungan kehidupan
bangsa Indonesia.
Latar belakang korupsi di Indonesia
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi
memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat
publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan wajar”. Ibarat candu, korupsi
telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat
“stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya
menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk
dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat
yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas
koruptor di negara
kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal
praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan
pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya
telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal sistem pemerintah feodal
(Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat
daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang
dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara
garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga)
fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase
tersebut.
Pertama,
Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar
belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur
sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno,
seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan
kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya
diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran
kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari
yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling
membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni,
hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di
Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang
berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita
ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan
“Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu,
kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan
kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu
SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya
pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme
bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam
kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi
kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja
atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis
yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar
dalam tatanan pemerintahan kita dikemudian hari.
Kedua,
Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk
dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi
telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi
ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut
politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu,
semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan
pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah
Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang
diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari
rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap
hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si
Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk
menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong
suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut,
dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas
bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing
piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing
hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan
yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara
eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan
dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya
sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula
penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup
(Survival).
Ketiga,
Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti
sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak
serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah
budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku
pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama
Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan
Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang
cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi
praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan
hingga saat ini.
Latar belakang budaya kekerasan di Indonesia
Seperti
halnya dengan korupsi, kekerasaan di Indonesia juga memiliki sejarah panjang
yang tidak terlepas dari sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Berulang
kali dalam sejarah panjang negeri ini, bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat
massif dan sistematis dipergunakan dalam setiap pergantian rezim kekuasaan
dengan seluruh justifikasinya. Kekuasaan di sini selalu dipersepsi sebagai
sesuatu yang bersifat absolut, terpusat pada segelintir orang atau kelompok,
dan tidak menyisakan ruang sama sekali bagi orang lain(the other). Model tumpas kelor semacam itu sepertinya
tak bergeming, termasuk oleh arus pembentukan negara-bangsa modern, yang
pilar-pilar landasannya justru mengandaikan mekanisme timbal balik dan
pembagian kekuasaan.
Malah
dalam analisa Henk Schulte-Nordholt yang sudah sering dikutip orang,
proses-proses pembentukan negara-bangsa Indonesia yang modern erat berkelindan
dengan penciptaan rezim teror "negara-kekerasan" (state of violence)
oleh ekspansi kolonial Belanda. Genealogi kekerasan inilah yang kemudian terus
menerus di(re)produksi oleh setiap rezim pemerintahan pasca-kolonial dengan
segala aparatusnya dalam berbagai bentuknya.
Karena
itu tidak mengherankan jika kekerasan – seperti juga korupsi, kembarannya dalam
tatanan kekuasaan absolut – lalu dimaknai banyak kalangan telah menjadi
"budaya kekerasan" yang berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari.
Apalagi di tengah politik pengabaian aparat keamanan yang tidak melakukan
apa-apa melihat praktik kekerasan berlangsung di depan mata mereka, dan
pengabaian hak-hak paling asasi masyarakat sebagai warga suatu negara yang
berdaulat. Kasus penyerbuan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang belum lama
ini terjadi hanyalah satu dari pola yang sama yang berulang kali terjadi. Kajian komparatif-historis
terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa sangat
dalamnya akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar luas. Di situ
penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh
negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, sering kali diterima sebagai
jalan penyelesaian masalah yang legitim. Bukankah jalan penyelesaian yang lebih
beradab, yakni melalui mekanisme hukum, kerap disumbat oleh kepentingan
kelompok yang lebih beruntung?
Salah
satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald adalah bahwa
kekerasan dipandang sebagai cara legitim "hanya jika ditujukan pada orang
asing (outsiders)." Di sini, "orang asing" merupakan hasil
konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa
merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di
dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai "orang asing". Atau
bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu
kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti "zionis",
"kapitalis", "komunis", dan seterusnya yang tidak pernah
jelas dan berlaku semena-mena.
Dengan
kata lain, akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita
mempersepsi dan memperlakukan orang
lain. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang
lain dengan segala keberlainannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol
identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang
layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring
pesonanya. Masalahnya jadi luar biasa kompleks ketika identitas tersebut
merupakan hasil sedimentasi trauma historis berkepanjangan, dan selalu
dihidupkan demi kepentingan langgengnya kekuasaan.
Sejarah
panjang menjadi-Indonesia dipenuhi oleh trauma historis seperti itu, konstruksi
“musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun
yang hendak disingkirkan. Identitas kecinaan vis-à-vis “pribumi”, kekristenan
sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum
beragama” dstnya, merupakan hantu-hantu yang terus menerus menggelisahkan
ke(ny)amanan kita. Pada titik itu, tidak salah jika upaya membangun tatanan
ke-Indonesia-an yang nir-kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu utopia. Apa yang disebut “utopia”
ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, utopia menunjuk pada “wilayah”
(topos) yang belum ada (u-topos); tetapi, pada sisi lain, utopia justru
merupakan kritik terhadap tatanan yang sudah ada. Menurut teolog itu – dan saya
setuju dengannya – di situlah fungsi hakiki panggilan religius yang menjadi
spirit sejati setiap perjuangan melawan budaya kekerasan.
Di
situ, utopia nir-kekerasan merupakan resistensi terhadap pemakaian cara-cara kekerasan,
yakni mengatakan “Tidak!” pada jalan kekerasan, sekaligus menyibakkan harapan
bagi masa depan yang lebih baik, yakni mengatakan “Ya!” pada kehidupan itu
sendiri. Dalam setiap tindak kekerasan, kehidupanlah yang sesungguhnya sedang
dipertaruhkan. Sebab setiap bentuk kekerasan pada hakikatnya merupakan
pengingkaran terhadap kehidupan; budaya kekerasan hanya akan melahirkan budaya
kematian.
Akan
tetapi, seperti didedah di atas, mengatakan “Tidak!” terhadap budaya kekerasan
harus bertitik tolak dari kritik-diri yang radikal (radix: akar). Sebab
benih-benih kekerasan sudah dimulai dari pra-andaian yang melandasi bagaimana
kita mempersepsi sang liyan, kategori-kategori yang kita gunakan untuk
menempatkan orang lain dalam kotak-kotak kecil identitas yang beku,
mendefinisikan mereka, dan sekaligus membungkam suara-suara mereka.
Pada
titik inilah perlawanan terhadap budaya kekerasan berkelindan erat dengan
perjuangan demi pluralisme, yakni sikap penghargaan terhadap keragaman yang
memungkinkan sang liyan dapat diterima sebagaimana adanya. Pluralisme tidak
pernah berupaya menyamaratakan semuanya, seperti dituduhkan MUI dalam fatwa
yang menimbulkan kontroversi itu. Pluralisme justru menerima dan menghargai
keragaman, malah mau merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah
kehidupan. Dengan kata lain, pluralisme adalah mengatakan “Ya!” pada kehidupan.
Panggilan
etis untuk merawat keragaman, yakni mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan
“Ya!” pada kehidupan, menurut saya merupakan tuntutan paling hakiki yang harus
dijawab para elite politik. Taruhannya sangat mendasar: keadaban publik yang
menjamin kehidupan bersama masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia.
Itu
jika Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa ini memang masih bermakna!
Runtuhnya
rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto setelah berkuasa selama 33
tahun ternyata diiringi dengan gelombang kekerasan terhadap etnis minoritas,
wanita, dan pihak lemah lain, sehingga membuat banyak pihak bertanya-tanya
mengapa negeri ini mengalami kekacauan berdarah setiap melewati proses
transisi. Salah satu yang dicurigai terlibat dalam kekerasan ini adalah Letjen
(Purn.) Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus waktu itu. Meskipun
belakangan terpaksa mengundurkan diri lantaran keterlibatannya dalam
penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan beberapa aktivis demokrasipada awal
1998, Prabowo adalah salah satu pihak di mana orang ingin mendapatkan
penjelasan kekerasan Mei itu. Pada sebuah simposium yang diselenggarakan pada
April 2001, Prabowo muncul dalam sebuah panel bertajuk “Separatisme di
Indonesia,” di mana dia memberikan pandangnnya, dengan mengatakan bahwa:
Budaya
Indonesia pada dasarnya sarat dengan kekerasan, dan militer adalah cerminan
masyarakat belaka. Masyarakat Indonesia bisa dengan cepat menggunakan
kekerasan. Kata “amok” dalam bahsa Inggris berasal dari bahas persatuan negara
kepulauan ini. Ini adalah sesuatu yang kita sadari, sesuatu yang tidak kita
suka, dan sesuatu yang kita ingin perhatikan, kendalikan, dan kelola. Tetapi kekerasan
memang ada: perkelahian antarkeluarga, antardesa, antarsuku, antarkelompok
etnis, dan ujungnya antaragama.
Apakah
penilaian Prabowo ini seusai dengan kenyataan? Apakah Indonesia memang
benar-benar berbudaya kekerasan, atau apakah argumen semacam yang dilontarkan
oleh Prabowo dan sekelompok elit diajukan untuk kepentingan-kepentingan lain?
Dalam artikel ini, saya menyatakan bahwa yang terakhir itulah yang terjadi.
Argumen semacam ini bermanfaat bagi para elit, yang membuat mereka memobilisasi
rakyat dengan kampanye kembalinya keamanan dan stabilitas sebagai cara
melindungi kepentingan mereka terhadap tuntutan-tuntukan yang meminta hak-hak
atas tanah, upah yang lebih tinggi, dan reformasi politik. Rezim Suharto telah
melembagakan teror negara dengan mencap oposisi politik sebagai “komunis,”
menggunakan kekuatan militer dan paramiliter untuk melawan pemrotes dan kaum
separatis jika perlu. Dalam era pos-Suharto, kegagalan para pemimpin untuk
menangani ketakadilan ekonomi, berlanjutnya penggunaan kekuatan militer untuk
menghadapi para pemrotes, pengerahan kekuatan paramiliter oleh elit, dan
kegagalan penegakan hukum membuat rakyat lebih suka melakukan tindakan sendiri.
Gabungan keadaan inilah yang menimbulkan budaya kekerasan.
Kekerasan
yang disponsori oleh negara telah menjadi endemik. Bagian kedua menganalisis
beberapa kekersan yang meledak di Sumatra Selatan antara 1998 dan 2000 untuk
secara lebih cermat mengidentifikasi akar dan sifat dari kekerasan massa (“mob
violence”).
Upaya Pemberantasan Korupsi
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi
korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan
penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar
dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun
upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui ;
Pertama,
Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat
secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal
ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik
secara batin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik
secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan
kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri,
akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah
korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah
korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua,
Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada
bagian awal tulisan ini, bahwa perilaku
korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan
berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi
akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang
demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatan
yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga,
Membangun akses control dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah.
Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan
kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja.
Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti,
apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah
klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk
mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks
kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara yang egaliter,
masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi
pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar, maupun pengawasan
akan berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
Keempat,
Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum
(fair trial), harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses
penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum
kita dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam
memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan
dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri
ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut
keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan
penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Kelima,
Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan
prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah
sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut
diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh
yang buruk kepada anak didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinya dalam
kehidupan sehari-hari. Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul
pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung
menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu kita
praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa perilaku korup masyarakat Indonesia akan
hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur tanpa dapat kita
hentikan bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar