LAMAN

Minggu, 19 Januari 2014

KORUPSI DAN KEKERASAN SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP REPUBLIK

Korupsi dan kekerasan seolah tidak pernah lepas dalam sejarah bangsa Indonesia. Begitu mengakarnya kebiasaan negatif tersebut sehingga sudah banyak orang menyebutnya sudah menjadi budaya bagi bangsa Indonenesia. Kedua masalah tersebut menggerogoti kehidupan bangsa Indonesia semenjak jaman dulu sampai sekarang ini. Bahkan akhir-akhir ini topik korupsi begitu mengemuka dan menjadi perbincangan utama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bila kedua masalah tersebut terus dibiarkan dan tidak ada upaya untuk mereduksinya maka dikemudian hari akan menjadi masalah yang mengancam keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia.

Latar belakang korupsi di Indonesia
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal sistem pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikemudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.

Latar belakang budaya kekerasan di Indonesia
Seperti halnya dengan korupsi, kekerasaan di Indonesia juga memiliki sejarah panjang yang tidak terlepas dari sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Berulang kali dalam sejarah panjang negeri ini, bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat massif dan sistematis dipergunakan dalam setiap pergantian rezim kekuasaan dengan seluruh justifikasinya. Kekuasaan di sini selalu dipersepsi sebagai sesuatu yang bersifat absolut, terpusat pada segelintir orang atau kelompok, dan tidak menyisakan ruang sama sekali bagi orang lain(the other). Model tumpas kelor semacam itu sepertinya tak bergeming, termasuk oleh arus pembentukan negara-bangsa modern, yang pilar-pilar landasannya justru mengandaikan mekanisme timbal balik dan pembagian kekuasaan. 
Malah dalam analisa Henk Schulte-Nordholt yang sudah sering dikutip orang, proses-proses pembentukan negara-bangsa Indonesia yang modern erat berkelindan dengan penciptaan rezim teror "negara-kekerasan" (state of violence) oleh ekspansi kolonial Belanda. Genealogi kekerasan inilah yang kemudian terus menerus di(re)produksi oleh setiap rezim pemerintahan pasca-kolonial dengan segala aparatusnya dalam berbagai bentuknya. 
Karena itu tidak mengherankan jika kekerasan – seperti juga korupsi, kembarannya dalam tatanan kekuasaan absolut – lalu dimaknai banyak kalangan telah menjadi "budaya kekerasan" yang berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di tengah politik pengabaian aparat keamanan yang tidak melakukan apa-apa melihat praktik kekerasan berlangsung di depan mata mereka, dan pengabaian hak-hak paling asasi masyarakat sebagai warga suatu negara yang berdaulat. Kasus penyerbuan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang belum lama ini terjadi hanyalah satu dari pola yang sama yang berulang kali terjadi. Kajian komparatif-historis terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa sangat dalamnya akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar luas. Di situ penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, sering kali diterima sebagai jalan penyelesaian masalah yang legitim. Bukankah jalan penyelesaian yang lebih beradab, yakni melalui mekanisme hukum, kerap disumbat oleh kepentingan kelompok yang lebih beruntung?
Salah satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald adalah bahwa kekerasan dipandang sebagai cara legitim "hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders)." Di sini, "orang asing" merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai "orang asing". Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti "zionis", "kapitalis", "komunis", dan seterusnya yang tidak pernah jelas dan berlaku semena-mena.
Dengan kata lain, akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita mempersepsi dan memperlakukan orang lain. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang lain dengan segala keberlainannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring pesonanya. Masalahnya jadi luar biasa kompleks ketika identitas tersebut merupakan hasil sedimentasi trauma historis berkepanjangan, dan selalu dihidupkan demi kepentingan langgengnya kekuasaan.
Sejarah panjang menjadi-Indonesia dipenuhi oleh trauma historis seperti itu, konstruksi “musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun yang hendak disingkirkan. Identitas kecinaan vis-à-vis “pribumi”, kekristenan sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum beragama” dstnya, merupakan hantu-hantu yang terus menerus menggelisahkan ke(ny)amanan kita. Pada titik itu, tidak salah jika upaya membangun tatanan ke-Indonesia-an yang nir-kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu utopia. Apa yang disebut “utopia” ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, utopia menunjuk pada “wilayah” (topos) yang belum ada (u-topos); tetapi, pada sisi lain, utopia justru merupakan kritik terhadap tatanan yang sudah ada. Menurut teolog itu – dan saya setuju dengannya – di situlah fungsi hakiki panggilan religius yang menjadi spirit sejati setiap perjuangan melawan budaya kekerasan.
Di situ, utopia nir-kekerasan merupakan resistensi terhadap pemakaian cara-cara kekerasan, yakni mengatakan “Tidak!” pada jalan kekerasan, sekaligus menyibakkan harapan bagi masa depan yang lebih baik, yakni mengatakan “Ya!” pada kehidupan itu sendiri. Dalam setiap tindak kekerasan, kehidupanlah yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan. Sebab setiap bentuk kekerasan pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap kehidupan; budaya kekerasan hanya akan melahirkan budaya kematian.
Akan tetapi, seperti didedah di atas, mengatakan “Tidak!” terhadap budaya kekerasan harus bertitik tolak dari kritik-diri yang radikal (radix: akar). Sebab benih-benih kekerasan sudah dimulai dari pra-andaian yang melandasi bagaimana kita mempersepsi sang liyan, kategori-kategori yang kita gunakan untuk menempatkan orang lain dalam kotak-kotak kecil identitas yang beku, mendefinisikan mereka, dan sekaligus membungkam suara-suara mereka.
Pada titik inilah perlawanan terhadap budaya kekerasan berkelindan erat dengan perjuangan demi pluralisme, yakni sikap penghargaan terhadap keragaman yang memungkinkan sang liyan dapat diterima sebagaimana adanya. Pluralisme tidak pernah berupaya menyamaratakan semuanya, seperti dituduhkan MUI dalam fatwa yang menimbulkan kontroversi itu. Pluralisme justru menerima dan menghargai keragaman, malah mau merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan. Dengan kata lain, pluralisme adalah mengatakan “Ya!” pada kehidupan.
Panggilan etis untuk merawat keragaman, yakni mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan, menurut saya merupakan tuntutan paling hakiki yang harus dijawab para elite politik. Taruhannya sangat mendasar: keadaban publik yang menjamin kehidupan bersama masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia.
Itu jika Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa ini memang masih bermakna!
Runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto setelah berkuasa selama 33 tahun ternyata diiringi dengan gelombang kekerasan terhadap etnis minoritas, wanita, dan pihak lemah lain, sehingga membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa negeri ini mengalami kekacauan berdarah setiap melewati proses transisi. Salah satu yang dicurigai terlibat dalam kekerasan ini adalah Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus waktu itu. Meskipun belakangan terpaksa mengundurkan diri lantaran keterlibatannya dalam penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan beberapa aktivis demokrasipada awal 1998, Prabowo adalah salah satu pihak di mana orang ingin mendapatkan penjelasan kekerasan Mei itu. Pada sebuah simposium yang diselenggarakan pada April 2001, Prabowo muncul dalam sebuah panel bertajuk “Separatisme di Indonesia,” di mana dia memberikan pandangnnya, dengan mengatakan bahwa:
Budaya Indonesia pada dasarnya sarat dengan kekerasan, dan militer adalah cerminan masyarakat belaka. Masyarakat Indonesia bisa dengan cepat menggunakan kekerasan. Kata “amok” dalam bahsa Inggris berasal dari bahas persatuan negara kepulauan ini. Ini adalah sesuatu yang kita sadari, sesuatu yang tidak kita suka, dan sesuatu yang kita ingin perhatikan, kendalikan, dan kelola. Tetapi kekerasan memang ada: perkelahian antarkeluarga, antardesa, antarsuku, antarkelompok etnis, dan ujungnya antaragama.
Apakah penilaian Prabowo ini seusai dengan kenyataan? Apakah Indonesia memang benar-benar berbudaya kekerasan, atau apakah argumen semacam yang dilontarkan oleh Prabowo dan sekelompok elit diajukan untuk kepentingan-kepentingan lain? Dalam artikel ini, saya menyatakan bahwa yang terakhir itulah yang terjadi. Argumen semacam ini bermanfaat bagi para elit, yang membuat mereka memobilisasi rakyat dengan kampanye kembalinya keamanan dan stabilitas sebagai cara melindungi kepentingan mereka terhadap tuntutan-tuntukan yang meminta hak-hak atas tanah, upah yang lebih tinggi, dan reformasi politik. Rezim Suharto telah melembagakan teror negara dengan mencap oposisi politik sebagai “komunis,” menggunakan kekuatan militer dan paramiliter untuk melawan pemrotes dan kaum separatis jika perlu. Dalam era pos-Suharto, kegagalan para pemimpin untuk menangani ketakadilan ekonomi, berlanjutnya penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi para pemrotes, pengerahan kekuatan paramiliter oleh elit, dan kegagalan penegakan hukum membuat rakyat lebih suka melakukan tindakan sendiri. Gabungan keadaan inilah yang menimbulkan budaya kekerasan.
Kekerasan yang disponsori oleh negara telah menjadi endemik. Bagian kedua menganalisis beberapa kekersan yang meledak di Sumatra Selatan antara 1998 dan 2000 untuk secara lebih cermat mengidentifikasi akar dan sifat dari kekerasan massa (“mob violence”).

Upaya Pemberantasan Korupsi
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui ;
Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara batin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa perilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga, Membangun akses control dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinya dalam kehidupan sehari-hari. Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa perilaku korup masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar