LAMAN

Rabu, 13 November 2013

PENGEMBANGAN INDUSTRI PERTAHANAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Industri pertahanan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kekuatan pertahanan suatu negara, terlebih dalam era modern sekarang ini. Negara yang memiliki industri pertahanan yang maju akan mempunyai kemampuan lebih dalam kekuatan pertahanannya. Kekuatan pertahanan suatu negara akan lebih mumpuni bila ditunjang dengan kemampuan negara tersebut memproduksi berbagai macam sarana dan prasarana pendukung pertahanan melalui industri pertahanan yang dimilikinya.
            Industri pertahanan yang kuat mempunyai dua efek utama, yakni efek langsung terhadap pembangunan kemampuan pertahanan, dan efek terhadap pembangunan ekonomi dan teknologi nasional. Dalam bidang pembangunan kemampuan pertahanan, industri pertahanan yang kuat menjamin pasokan kebutuhan Alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan. Ketersediaan pasokan Alutsista secara berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana pembangunan kemampuan pertahanan dalam jangka panjang, tanpa adanya kekhawatiran akan faktor-faktor politik dan ekonomi, seperti embargo atau restriksi. Industri pertahanan dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan industri nasional, yakni ikut menggairahkan pertumbuhan industri nasional yang berskala internasional, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup signifikan, transfer teknologi yang dapat menggairahkan sektor penelitian, dan pengembangan sekaligus memenuhi kebutuhan sektor pendidikan nasional di bidang sains dan teknologi[1].
            Memang tidak ada sebuah negara yang mampu seratus persen mandiri dalam memenuhi kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista), pasti terdapat ketergantungan terhadap negara lain. Amerika sebagai negara yang paling kuat sistem pertahanannya dan terbesar penghasil alutsista[2], ternyata masih memerlukan pasokan komponen dari negara lain untuk kebutuhan industri pertahanannya. Bahkan sebuah kasus menunjukan terdapat komponen elektronik palsu produksi China dalam sebuah pesawat tempur buatan Amerika[3].

            Untuk membangun sebuah industri pertahanan yang mandiri memang tidak mudah. Diperlukan berbagai macam upaya dan sumberdaya yang tidak sedikit. Disamping memerlukan dana yang besar, juga dibutuhkan pengusaan teknologi tinggi. Hal tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam waktu yang singkat, serta memerlukan kerjasama berbagai pihak. Kementerian Pertahanan Indonesia sebagai penanggungjawab utama sistem pertahanan Indonesia memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk mewujudkan pengembangan industri pertahanan yang mandiri. Pemberdayaan industri nasional untuk pembangunan pertahanan memerlukan kerja sama di antara tiga pilar industri pertahanan, yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan serta Perguruan Tinggi, Industri, dan pihak Dephan/TNI, dengan dibentengi oleh kebijakan nasional yang jelas untuk menggunakan produk-produk hasil dari putra-putra terbaik bangsa[4].
           
1.2. Tujuan Penulisan
 Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
a.    Agar pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang terdapat dalam industri pertahanan Indonesia
b.    Memberikan analisa singkat tentang kondisi dan situasi strategis yang ada dalam lingkungan industri pertahanan Indonesia
c.    Memberikan solusi alternatif untuk dapat dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan dalam lingkungan industri pertahanan Indonesia

1.  3. Rumusan Masalah
Mencermati industri pertahanan Indonesia, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
a.     Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh industri pertahanan Indonesia?
b.     Apa saja kebijakan yang perlu diambil untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengembangan industri pertahanan Indonesia tersebut?
c.      Langkah apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan industri pertahanan Indonesia yang mandiri?




BAB II
LANDASAN TEORI

            Dalam buku Minimum Essential Force Komponen Utama, terbitan Kementerian Pertahanan RI tahun 2010, disebutkan bahwa definisi MEF adalah suatu standar kekuatan pokok dan minimum TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasarat utama serta mendasar bagi terlaksananya secara efektif tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual. Masih dalam buku tersebut disebutkan bahwa salah satu pertimbangan aspek manajemen pertahanan untuk perumusan renstra dan kepentingan pembinaan TNI, memerlukan perangkat lima  perangkat pendukung. Yang terkait dengan tulisan ini adalah dua perangkat pendukung yaitu: (1) meningkatnya jumlah dan kondisi Alutsista TNI ke arah modernisasi Alutsista dan kesiapan operasional, (2) Terlaksananya peningkatan sarana dan prasarana dan fasilitas pangkalan militer melalui pembangunan, pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan.
            Untuk memenuhi tuntutan modernisasi Alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana dan fasilitas pangkalan militer, maka pemerintah Indonesia, dalam hal ini khususnya Departemen Pertahanan RI tentunya memerlukan kebijakan untuk proses pengadaan bagi hal tersebut. Dalam buku Defence Procurement and Industry Policy terbitan Routledge Studies in Defence and Peace Economics tahun 2010, disebutkan bahwa ada beberapa pedoman dalam proses pengadaan dalam bidang pertahanan, yaitu:
-       Local content requirement, apakah pengadaannya dari industri dalam negeri ataukah dari luar negeri.
-       Make-or-buy consideration, dibuat sendiri atau membeli dari pihak luar.
-       Source selection requirement, cara menyeleksi pemasok, apakah dengan lelang terbuka, atau penunjukan.
-       Contracting arrangements, bentuk kontrak dengan pemasok
-       Supplier relation management, bentuk kerjasama dari mulai proses pengiriman sampai dengan layanan purnajual.
Dari lima pertimbangan tersebut, dalam prakteknya sekarang ini sebagian besar pengadaan Alutsista bagi kepentingan TNI, terutama yang mengandung teknologi tinggi masih didatangkan dari luar negeri. Namun demikian sudah banyak pula kebutuhan Alutsista TNI yang dipasok oleh industri-industri pertahanan dalam negeri baik BUMN maupun swasta.
            Untuk membangun kekuatan pertahanan yang mumpuni, idealnya kebutuhan Alutsista TNI seharusnya dapat dipasok oleh industri-industri yang berasal dari dalam negeri. Bila hal tersebut dapat dilaksanakan maka ketergantungan terhadap asing menjadi semakin kecil, sehingga tingkat kerawanan terhadap kesiapan dan kemampuan Alustista TNI dapat dikurangi. Kasus embargo Alutsista oleh Amerika Serikat dan sekutunya pada tahun 1999 harusnya menjadi pelajaran berharga guna mengembangkan industri pertahanan dalam negeri agar mampu memasok kebutuhan Alutsista TNI secara lebih luas.
            Wakil Presiden Asia Pasific Embraer Brasil, Jao Tolesani Neto dalam Seminar Internasional Indodefence 2012, menyebutkan bahwa dalam industri pertahanan terdapat fenomena gunung es. Artinya yang terlihat di permukaan adalah produk dari hasil industri pertahanan tersebut, tetapi sebenarnya terdapat hal yang lebih besar yang tidak nampak dari permukaan. Hal tersebut adalah service providers, industri pertahanan, infrastruktur dan teknologi, technological center (penelitian dan pengembangan), dan Institusi militer dan universitas. Penelitian dan pengembangan menjadi salah satu dasar dari terciptanya sebuah produk. Dengan penelitian dan pengembangan yang mumpuni maka akan dihasilkan pula sebuah produk yang berkualitas.
            Untuk membangun sebuah industri pertahanan yang mandiri memang tidak mudah. Diperlukan berbagai macam upaya dan sumberdaya yang tidak sedikit. Disamping memerlukan dana yang besar, juga dibutuhkan pengusaan teknologi tinggi. Hal tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam waktu yang singkat, serta memerlukan kerjasama berbagai pihak. Kementerian Pertahanan Indonesia sebagai penanggungjawab utama sistem pertahanan Indonesia memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk mewujudkan pengembangan industri pertahanan yang mandiri. Pemberdayaan industri nasional untuk pembangunan pertahanan memerlukan kerja sama di antara tiga pilar industri pertahanan, yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan serta Perguruan Tinggi, Industri, dan pihak Dephan/TNI, dengan dibentengi oleh kebijakan nasional yang jelas untuk menggunakan produk-produk hasil dari putra-putra terbaik bangsa[5].

Profil Industri Pertahanan Indonesia
            Keberadaan industri pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan dari peran Prof. B.J. Habibie yang menginisiasi dibentuknya industri strategis[6]. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983 merupakan langkah awal pembangunan industri strategis, termasuk industri pertahanan. Keppres tersebut membidani lahirnya PT IPTN (yang saat ini menjadi PT DI), yang kemudian membidangi industri pertahanan bidang kedirgantaraan, PT PAL yang membidangi industri kemaritiman, PT PINDAD yang membidangi persenjataan dan amunisi, PT DAHANA yang membidangi bahan peledak, dan PT LEN yang membidangi alat-alat elektronika dan komunikasi pertahanan[7].           Selain kelima perusahaan diatas terdapat industri strategis lain yang diatur dalam keputusan presiden tersebut, yaitu:  PT. Krakatau Steel, PT. Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT. Industri Kereta Api (INKA). Selanjutnya dengan Keputusan Presiden No 44 Tahun 1984, dibentuk Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Melalui Keputusan Presiden ini pula terdapat penambahan badan usaha yang masuk sebagai kategori industri strategis yaitu: PT. Boma Bima Indra, dan PT. Barata Indonesia, dan peruhahan PT. Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang (sekarang PT. Dirgantara Indonesia), UP Lembaga Elektronika LIPI menjadi UP Lembaga Elektronika Nasional LIPI (sekarang PT. LEN Industri) dan Perum Dahana menjadi PT. Dahana.
            Dari sekian industri strategis pertahanan tersebut, hasil produksi PT. Pindad yang mengemuka dan sering dibicarakan oleh banyak pihak. Dalam website www.pindad.com, PT. Pindad menggolongkan produksi dan jasa yang dihasilkannya dalam beberapa kategori yaitu: senjata, amunisi,  special purpose vehicles,  commercial explosives, forging & casting, mesin industri dan jasa. Senjata SS1 dengan turunan dan berbagai varian serta amunisinya adalah salah satu produk PT Pindad yang mampu memenuhi kebutuhan senjata ringan bagi TNI. Bahkan senjata tersebut menjadi senjata standar TNI. Selain itu Panser Anoa 6x6 menjadi andalan produk PT. Pindad untuk kategori spesial purpose vehicles. Masih banyak produk lain dari PT. Pindad, selain menghasilkan produk untuk kepentingan pertahanan juga menghasilkan produk untuk kepentingan komersil lainnya.
            PT PAL telah mampu memproduksi kapal-kapal jenis korvet, kapal patroli, galangan pendaratan, tanker, serta dok pemeliharaan kapal perang. PT DI telah memproduksi pesawat transpor sayap tetap, helikopter, pesawat patroli maritim, pesawat pengintai, simulator pesawat, serta pemeliharaan dan perbaikan pesawat. PT LEN telah memproduksi sistem kendali peralatan militer, sistem deteksi, radar dan sonar, serta peralatan komunikasi militer. Demikian pula, PT DAHANA telah memproduksi berbagai jenis bahan peledak. Disamping Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) tersebut, terdapat perusahaan swasta nasional yang menghasilkan produk alutsista yang sudah dipakai untuk kepentingan pertahanan bagi TNI.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengembangan Industri Pertahanan.
            Pengembangan industri pertahanan tentunya terkait dengan kondisi perekonomian suatu negara. Dalam teori ekonomi pertahanan disebutkan terdapat dua ciri khusus dalam kebijakan pertahanan: pertama adalah rasa aman dan damai adalah barang publik yang tidak bisa dibanding-bandingkan dan dibatasi. Contohnya adalah rasa aman dari seorang penduduk yang tinggal di suatu negara sebagai akibat dari pertahanan oleh tentara negara tersebut adalah sebuah hak setiap warga negara tersebut dan tidak ada seorangpun yang boleh menghalangi dia untuk menikmati rasa aman tersebut. Kedua, pemerintah adalah pembeli utama dari produk sebuah industri pertahanan, dalam beberapa kasus pemerintah adalah pembeli satu-satunya (monopsoni). Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri pertahanan suatu negara[8].
            Dari teori tersebut terdapat sedikitnya dua hal yang menjadi kendala dalam industri pertahanan, yaitu dalam kebijakan politik anggaran pertahanan dan kebijakan pemakaian alutsista produksi dalam negeri. Indonesia sebagai negara demokrasi, melihat bahwa kebijakan terhadap anggaran suatu program tentunya harus memperhatikan berbagai kondisi yang ada, termasuk didalamnya kondisi perekonomian. Demikian halnya dengan anggaran pertahanan, besarnya anggaran pertahanan Indonesia masih harus dibatasi oleh kemampuan perekonomian Indonesia yang masih kurang. Hal tersebut akhirnya juga mempengaruhi pengalokasian anggaran untuk pengembangan industri pertahanan.
            Walaupun pada APBN tahun 2012 ini Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar, yaitu Rp74 trilyun, tetapi sebagian besar habis untuk belanja pegawai dan membayar gaji. Pemerintah tahun ini telah menganggarkan seperempat dari seluruh  anggaran pertahanan untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). "Kurang lebih 25 persen dari alokasi anggaran sebesar Rp 74 triliun," kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di kantor Kementerian Pertahanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis, 9 Februari 2012[9]. Dengan anggaran yang terbatas tersebut Kementerian Pertahanan tentunya belum dapat melakukan penelitian dan pengembangan sebagai sebuah proses untuk membangun industri pertahanan sendiri, karena biaya yang dibutuhkan untuk proses penelitian dan pengembangan tersebut tidaklah sedikit.
            Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industri pertahanan adalah kemampuan industri pendukung lainnya sebagai penyuplai bahan baku[10]. Ini adalah salah satu titik lemah Indonesia, industri bahan baku terutama industri baja dan hasil logam lain yang sudah hasil produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pertahanan. Masih banyak komponen industri pertahanan Indonesia yang bahan bakunya import dari negara lain.

3.2. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Pertahanan
            Seperti disebutkan di atas bahwa kesadaran pemerintah untuk mengembangkan industri pertahanan sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, berbagai macam kendala dihadapi oleh pemerintah untuk terus mengembangkan industri pertahanan tersebut. Salah satu pukulan telak dalam perkembangan industri pertahanan adalah munculnya krisis ekonomi pada era tahun 1998, yang menyebabkan beberapa BUMNIS terpaksa menunda atau bahkan membatalkan beberapa proyek yang sudah direncanakan. Salah satu yang paling terkenal adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia yang terpaksa menghentikan berbagai proyek pembuatan pesawat terbangnya. Bahkan PT. DI tersebut terpaksa merumahkan ribuan pegawainya, bahkan kasus pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan PT. DI tersebut sampai sekarang belum selesai.
            Meskipun terkendala berbagai hal, kebijakan pengembangan industri pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah pada arah yang benar. Setelah sempat terpuruk oleh krisis ekonomi, beberapa tahun ini pemerintah bertekat kembali mengembangkan industri pertahanan yang dimilikinya dengan melakukan revitalisasi industri pertahanan. Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Dalam perpres tersebut Komite Kebijakan Industri Pertahanan mempunyai tugas sebagai berikut:
a.     Merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang industri pertahanan;
b.     Mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan;
c.      Mengoordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan dan mengembangkan industri pertahanan;
d.     Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan industri pertahanan.
Susunan keanggotaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan terdiri dari :
a. Ketua           :    Menteri Pertahanan merangkap anggota
b. Wakil Ketua     :    Menteri Badan Usaha Milik Negara merangkap anggota
c. Sekretaris    :    Wakil Menteri Pertahanan merangkap anggota
d. Anggota       :    1. Menteri Perindustrian;
                               2. Menteri Riset dan Teknologi;
                               3. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
                               4. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
            Dalam pelaksanaannya Komite Kebijakan Industri Pertahanan tersebut dibantu oleh kelompok kerja yang berasal dari pemerintah maupun kalangan profesional lainnya. Dalam Sidang Pleno Ke-VI KKIP pada tanggal 23 Mei 2012 di PT. PAL Surabaya, beberapa hal telah dibahas antara lain penyampaian laporan tentang proses legislasi RUU Industri Pertahanan oleh Tim Asistensi KKIP Bidang Kebijakan Dr. M. Said Didu dan penyampaian Program Nasional Riset Pertahanan dan Keamanan oleh Tim Pokja II KKIP Bidang Litbang dan Rekayasa Ir. Teguh  Raharjo. Terkait dengan Program Nasional Riset Pertahanan dan Keamanan yang sedang disusun oleh KKIP, Menhan mengatakan ini akan menjadi embrio dalam melengkapi road map dari kegiatan Riset di Bidang Pertahanan dan Keamanan yang sudah diselesaikan oleh Dewan Riset Nasional. Lebih lanjut Menhan menjelaskan, road map berisi riset pengembangan dan penerapan dari produk-produk alutsista dan almatsus (alat matra khusus) untuk Matra  Darat, Laut dan Udara serta Kepolisian. “Semua tercakup didalamnya dan akan menjadi reverensi dokumen dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan penerapan dari teknologi khusus di dalam industri pertahaan dan keamanan”, jelas Menhan[11].
           
3.3. Penelitian dan Pengembangan dalam Industri Pertahanan Indonesia
            Pemerintah Indonesia sekarang ini dengan serius menerapkan kebijakan untuk menghidupkan kembali, serta mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan disyahkannya UU No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pada tanggal 5 Oktober 2012 yang lalu. Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang industri pertahanan tersebut akan berlansung dengan baik bila salah satunya adalah didukung adanya penelitan dan pengembangan dalam bidang pertahanan, khususnya bidang industri pertahanan.
            Dalam seminar Indodefence 2012, Direktur PT Pindad menyebutkan bahwa perusahaannya memang sekarang ini mengalami banjir order dalam pengadaan Alutsista baik dari dalam negeri maupun luar negeri, tetapi beliau menekankan bahwa Alutsista yang menjadi andalan produksi PT Pindad adalah Alutsista dengan teknologi menengah. Dari berbagai Alutsista yang ditampilkan dalam Indodefence 2012 kemarin, terlihat dengan mencolok bahwa Alutsista dengan teknologi canggih yang rencananya akan dibeli oleh Indonesia sebagian besar masih berasal dari luar negeri.
            Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan industri pertahanan dalam negeri dalam membuat produk-produk Alutsista yang berteknologi tinggi masih kurang. Sebenarnya hal tersebut tidak mengherankan karena sudah menjadi rahasia umum bahwa perhatian pemerintah terhadap bidang penelitian dan pengembangan termasuk didalamnya penelitian dan pengembangan dalam bidang pertahanan masih kurang. Akibatnya penemuan-penemuan serta kemampuan Indonesia untuk memproduksi berbagai peralatan berteknologi tinggi menjadi kurang. Indonesia masih suka membeli dari luar dari pada mencoba memproduksi sendiri.
            Kurangnya perhatian terhadap sektor penelitian dan pengembangan sebenarnya merupakan salah satu dampak dari krisis ekonomi tahun 1998 yang baru lalu. Dana untuk penelitian dan pengembangan dalam berbagai sektor terpaksa dikurangi karena pemerintah lebih terkonsentrasi untuk membangun kembali infratruktur yang terkait dengan kesejahteraan rakyat serta yang terkait dengan upaya pemulihan ekonomi. Bidang pertahanan dan keamanan juga mengalami pemotongan anggaran sebagai akibat dari krisis ekonomi. Akibatnya sektor penelitan dan pengambangan yang terkait dengan bidang pertahanan tentunya kurang mendapat perhatian beberapa waktu yang lalu. Disamping itu tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melakukan penelitian dan pengembangan sebuah produk peralatan pertahanan memerlukan biaya yang sangat besar.
           
3.4. Kemampuan  Penelitian dan pengembangan Pada Industri Pertahanan Yang Diharapkan

            Peningkatkan kemampuan penelitian dan pengembangan pada industri pertahanan di satu sisi memang akan berhadapan dengan berbagai persoalan seperti sulitnya memperoleh transfer teknologi, persaingan produk industri pertahanan dengan negara maju. Belum terwujudnya penelitian dan pengembangan untuk mendukung kebutuhan Alutsista, dikarenakan  pembangunan nasional masih dititikberatkan di sektor ekonomi serta TNI yang masih lebih suka menggunakan Alutsista produk Luar Negeri. Di sisi lain apabila kita dapat mencermati peluang dan kendala dari pengamatan perkembangan lingkungan strategis sekarang ini, maka kemampuan penelitian dan pengembangan pada Industri pertahanan dapat ditingkatkan.
            Dengan memperhatikan hal-hal di atas, akan seperti apa kemampuan penelitian dan pengembangan pada industri pertahanan yang diharapkan. Disini diperlukan Penelitian dan pengembangan yang lebih fokus untuk melaksanakan fungsinya, dapat mendukung industri pertahanan yang jelas arah produksinya, didukung SDM yang berwawasan teknologi pertahanan dan tidak terkendala dengan pembiayaan penelitian dan pengembangannya, sehingga harapan-harapan ini dapat terwujud apabila :

a.    Bidang usaha Industri pertahanan harus dapat dispesialisasikan/ dikelompokkan menurut fungsi dan bidang teknologi pertahanan, yaitu:
1)    Industri yang memproduksi sarana-prasarana/Alutsista yang memfokuskan “daya gerak” (rantis, ranpur, kapal, pesawat udara).
2)    Industri yang dapat memproduksi senjata, amunisi dan bahan peledak atau yang memfokuskan “daya tempur”
3)    Indusri yang memproduksi peralatan elektronika untuk keperluan produk K4I (komando, kendali, komunikasi, komputer dan informasi).
4)    Industri yang bergerak di bidang sistem senjata yang terintegrasi (Fire Control System)
5)    Industri yang bergerak di bidang perbekalan baik yang mempunyai spesiali-sasi bekal makanan maupun bekal perlengkapan perorangan/prajurit.
b.    Industri pertahanan yang Penelitian dan pengembangannya mampu melaksanakan upaya-upaya deversifikasi produk industrinya baik untuk keperluan militer maupun non militer. Hal ini untuk mengantisipasi apabila Negara dalam keadaan damai tentunya permintaan produk militer berskala kecil. Apabila produk non militernya diakui dan bisa diterima oleh pasar, maka hal ini akan memperkuat Penelitian dan pengembangannya untuk produk militer.
c.    Industri pertahanan juga berusaha mengembangkan kemampuan SDMnya dalam rangka penguasaan teknologi dan investasi teknologi sehingga mempunyai spesialisasi atau kompetensi sesuai tersebut titik a di atas. Hal ini perlu dilaksanakan, karena akan memperkuat SDM Penelitian dan pengembangan pada Industri pertahanan itu sendiri.

3.5. Indikator Keberhasilan Peningkatan Kemampuan Penelitian dan pengembangan pada Industri Pertahanan

            Kemampuan penelitian dan pengembangan pada Industri pertahanan menunjukkan peningkatan apabila persoalan-persoalan pada Penelitian dan pengembangan tersebut sebelumnya menjadi berkurang atau mengecil volumenya. Indikator peningkatan kemampuan tersebut atau indikator keberhasilannya adalah:
a.  Unit Penelitian dan pengembangan industri pertahanan dapat menjadi sarana untuk mengejar ketertinggalan teknologi militer dengan berperan aktif memenuhi persyaratan teknis Alutsista TNI dengan mengukur kemampuan penelitian dan pengembangan yang dimiliki serta menjajagi kemampuan penelitian dan pengembangan Angkatan/Kemhan serta perguruan tinggi.
b.  Munculnya produk-produk industri pertahanan dimulai dengan teknologi sederhana namun telah melewati proses Penelitian dan pengembangan yang dapat dipercaya dan dapat digunakan TNI sendiri bahkan dapat di eksport untuk digunakan di Angkatan Bersenjata Negara berkembang.
c.   Adanya sinergi yang saling mendukung/menguntungkan antara Dephan dengan Depperin. Sehingga Dephan dapat menyampaikan keinginannya untuk mengajak Industri pertahanan dalam memproduksi Ranahan/Alutsista yang dapat memenuhi persyaratan teknis pengguna/TNI dan sesuai dengan kelaikan militer. Depperin atau Industri pertahanan sendiri dapat memahami persyaratan teknis dan persyaratan kelaikan militer tersebut dalam merancang Ranahan/Alutsista yang dikehendaki pengguna dengan memberdayakan unit Penelitian dan pengembangannya.
d.  Adanya perangkat lunak yang bersifat mengatur dari Pemerintah mengenai fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab Penelitian dan pengembangan di BPPT/KNRT, Depperin, Dephan, TNI/ Angkatan, Perguruan Tinggi dan LPND yang lain serta mekanisme perencanaan dan penganggarannya untuk melaksanakan pembuatan prototipe Ranahan/Alutsista yang dibutuhkan pengguna /TNI sesuai skala prioritas.
e.  Industri pertahanan dapat menangkap dan memahami jabaran skala prioritas Ranahan/ Alutsista yang dibutuhkan TNI dalam rangka pembangunan kekuatan pertahanan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan keuangan Negara.

f.    Memperjuangkan alih teknologi dan kandungan lokal (local contain) yang sebanyak mungkin dalam setiap kontrak pengadaan Ranahan/Alutsista untuk kepentingan TNI dengan memberi kesempatan kepada SDM Penelitian dan pengembangan Angkatan/Dephan dan lembaga Penelitian dan pengembangan yang lain untuk ikut berperan dalam alih teknologi dan menyediakan sesuatu yang dimaksud dalam kandungan lokal tersebut.

            Apabila indikator-indikator keberhasilan yang telah disebutkan secara bertahap mulai terwujud, maka Penelitian dan pengembangan Industri pertahanan mulai menampakkan peningkatan kemampuannya, sehingga hal ini akan berkontribusi terhadap :
a.     Meningkatnya efektivitas pembinaan Industri pertahanan dengan semakin mantapnya arah pembinaan untuk mewujudkan Industri pertahanan yang memiliki criteria sebagai berikut :
1)    Industri pertahanan dapat memenuhi kebutuhan Ranahan dalam negeri, meskipun dimulai dari Ranahan yang berteknologi sederhana.
2)    Mampu meningkatkan produktifitasnya dengan efisien
3)    Dapat memberikan kesempatan kerja/memperluas lapangan kerja sehingga dapat membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4)    Mampu membuat diversifikasi produk Ranahan dan produk komersial dengan menyesuaikan intensitas terjadinya ancaman ketika Negara dalam keadaan darurat atau dalam keadaan damai.
5)    Didukung oleh SDM yang mampu menyerap alih teknologi sesuai dengan perkembangan teknologi Alutsista di Negara maju.
b.     Dengan meningkatnya efektivias pembinaan Industri pertahanan seperti yang telah dikemukakan tadi maka akan mendukung terwujudnya kemandirian Ranahan. Kemandirian Ranahan ini bercirikan :
1)    Industri pertahanan yang mampu memfungsikan Penelitian dan pengembangannya guna menjabarkan persyarat-an teknis Alutsista yang akan dibangun/ diproduksi sesuai permintaan pengguna/ TNI.
2)    Pelibatan Perguruan Tinggi, profesional dan institusi Penelitian dan pengembangan sebagai perancang yang dapat menjembatani persyaratan teknis Alutsista tertentu yang diinginkan pengguna/TNI dengan perkembangan teknologi terkait dengan Alutsista tersebut, sehingga dapat memberi masukan yang positif kepada Industri pertahanan (produsen) dalam proses pembuatannya.
TNI/Angkatan sebagai pengguna, yang dapat menterjemahkan persyaratan/ tuntutan pengoperasian suatu Alutsista yang akan dibuat menjadi persyaratan teknis yang disesuaikan pula dengan situasi dan kondisi medan operasi di tanah air kita ini. Persyaratan teknis Alutsista inilah kemudian yang disodorkan kepada Perancang dan kemudian dibuat oleh produsen seperti yang dikemukakan di atas[12].



BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Kebijakan pengembangan industri pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah pada jalur yang benar. Terdapat kendala berupa kemampuan ekonomi yang berdampak pada alokasi anggaran pertahanan dan struktur industri penunjang yang masih belum mumpuni.

4.2 Saran
            Kendala-kendala dalam masalah industri pertahanan Indonesia  tersebut dapat diatasi dengan:
a.     Komitmen pemerintah yang harus terus menerus dan konsisten dalam arah kebijakan yang sudah diprogramkan.
b.     Keberpihakan pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan untuk memprioritaskan pemakaian alutsista yang bisa diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri. Apabila pemerintah konsisten untuk memprioritaskan pengadaan alutsista oleh industri pertahanan dalam negeri, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mandiri dalam industri pertahanan.
c.      Perlunya peningkatan perhatian pemerintah serta peningkatan alokasi dana serta sumberdaya lain untuk penelitian dan pengembangan dalam sektor industri pertahanan Indonesia.



Daftar Pustaka

Departemen Pertahanan Republik Indonesia,  Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008

Hartley, Keith. 2011. The Economics of Defence Policy, A New Perspective. Routledge Studies in Defence and Peace Economics: Abingdon.


Habibi Yusuf Sarjono, ST, MHan. “Peran Strategis Pembangunan Industri Pertahanan”, dalam http://www.tandef.net/peran-strategis-pembangunan-industri-pertahanan

Kementerian Pertahan RI, 2010. Minimum Essential Forces, Komponen Utama. Kemenhan RI, Jakarta

Markowski, Stefan. 2010. Defence Procurement and Industry Policy, A Small Country Perspective. Routledge Studies in Defence and Peace Economics: Abingdon.

Neto, Jao Tolesani. Embraer, A Successful Strategic Plan, makalah dalam Seminar Internasional Indodefence 2012

http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/peningkatan-kemampuan-litbang-pada-industri-pertahanan-indhan


http://www.taonline.com/securityclearances/defense.asp

http://savingusmanufacturing.com/blog/outsourcing/senate-report-reveals-extent-of-chinese-counterfeit-parts-in-defense-industry/

http://www.tempo.co/read/news/2012/02/09/078382895/Seperempat-Anggaran-Pertahanan-untuk-Alutsista

http://dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1198:kkip-menggelar-sidang-pleno-ke-vi-di-pt-pal-surabaya&catid=36:iptek-a-pendidikan&Itemid=61






[1] Departemen Pertahanan Republik Indonesia,  Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008,  hlm 156
[2] http://www.taonline.com/securityclearances/defense.asp
[3] http://savingusmanufacturing.com/blog/outsourcing/senate-report-reveals-extent-of-chinese-counterfeit-parts-in-defense-industry/
[4] Op.cit.  Departemen Pertahanan Republik Indonesia, hlm 158
[5] Op.cit.  Departemen Pertahanan Republik Indonesia, hlm 158
[6] Habibi Yusuf Sarjono, ST, MHan. “Peran Strategis Pembangunan Industri Pertahanan”, dalam http://www.tandef.net/peran-strategis-pembangunan-industri-pertahanan
[7] Op.cit.  Departemen Pertahanan Republik Indonesia, hlm 158
[8] Hartley, Keith. The Economics of Defence Policy, A New Perspective.(Abingdon: Routledge Studies in Defence and Peace Economics, 2011), hlm. 3.
[9] http://www.tempo.co/read/news/2012/02/09/078382895/Seperempat-Anggaran-Pertahanan-untuk-Alutsista
[10] Markowski, Stefan. Defence Procurement and Industry Policy, A Small Country Perspective. .(Abingdon: Routledge Studies in Defence and Peace Economics, 2010), hlm. 163.
[11] http://dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1198:kkip-menggelar-sidang-pleno-ke-vi-di-pt-pal-surabaya&catid=36:iptek-a-pendidikan&Itemid=61
[12] http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/peningkatan-kemampuan-litbang-pada-industri-pertahanan-indhan

1 komentar:

  1. Kepada Yth,
    Perusahaan Pemerintah BUMN & Swasta
    PT, LTD, TBK
    Up : Pimpinan / Finance Manager
    Perihal : Penawaran Penerbitan Bank Garansi & Asuransi Tanpa Agunan / Non Collateral

    Dengan Hormat,
    Perkenalkan kami dari PT. MEKARJATI JAYA LESTARI(Consultan Bank Gransi & Insurance) dimana perusahaan kami telah di tunjuk untuk memasarkan Bank Garansi & Surety Bond bahkan perusahaan kami telah di Back Up oleh Perusahaan Asuransi Kerugian Swasta Nasional Maupun BUMN. Bank Garansi & Surety Bond yang kami terbitkan diterima di instansi pemerintah, maupun Swasta, (BUMN, BUMD, KPS, PERTAMINA, CNOOC, MABES TNI, MABES POLRI, TOTAL E & P INDONESIA) Di sini kami memberikan procedure yang relative mudah yaitu Tanpa Agunan (Non Collateral) serta polis jaminan kami antar :

    Jenis Jaminan,
    1.Jaminan Penawaran / Bid ( Tender) Bond.
    2.Jaminan Pelaksanaan / Performance Bond.
    3.Jaminan Uang Muka/Advance.
    4.Jaminan Pemeliharaan / Maintenance Bond.
    5.Paymen Bond (Surety Bond)

    Salam
    muktyali
    Hp. 0812 89411452
    Email: muktyali19@gmail.com
    PT.MEKARJATI JAYA LESTARI
    (Konsultan Bank Garansi & Surety Bond)
    Tlp : 021 29833066 / Fax : 021 29833067
    Pemasaran :
    Jl. H Ten N0.8 Kec.Kayu Putih Kel.Pulogadung Jakarta Timur 13210
    Area lampiran

    BalasHapus