BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri
pertahanan merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung kekuatan
pertahanan suatu negara, terlebih dalam era modern sekarang ini. Negara yang
memiliki industri pertahanan yang maju akan mempunyai kemampuan lebih dalam
kekuatan pertahanannya. Kekuatan pertahanan suatu negara akan lebih mumpuni
bila ditunjang dengan kemampuan negara tersebut memproduksi berbagai macam
sarana dan prasarana pendukung pertahanan melalui industri pertahanan yang
dimilikinya.
Industri
pertahanan yang kuat mempunyai dua efek utama, yakni efek langsung terhadap
pembangunan kemampuan pertahanan, dan efek terhadap pembangunan ekonomi dan
teknologi nasional. Dalam bidang pembangunan kemampuan pertahanan, industri
pertahanan yang kuat menjamin pasokan kebutuhan Alutsista dan sarana pertahanan
secara berkelanjutan. Ketersediaan pasokan Alutsista secara berkelanjutan
menjadi prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana
pembangunan kemampuan pertahanan dalam jangka panjang, tanpa adanya
kekhawatiran akan faktor-faktor politik dan ekonomi, seperti embargo atau
restriksi. Industri pertahanan dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan
industri nasional, yakni ikut menggairahkan pertumbuhan industri nasional yang
berskala internasional, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup
signifikan, transfer teknologi yang dapat menggairahkan sektor penelitian, dan
pengembangan sekaligus memenuhi kebutuhan sektor pendidikan nasional di bidang
sains dan teknologi[1].
Memang
tidak ada sebuah negara yang mampu seratus persen mandiri dalam memenuhi
kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista), pasti terdapat
ketergantungan terhadap negara lain. Amerika sebagai negara yang paling kuat
sistem pertahanannya dan terbesar penghasil alutsista[2],
ternyata masih memerlukan pasokan komponen dari negara lain untuk kebutuhan
industri pertahanannya. Bahkan sebuah kasus menunjukan terdapat komponen
elektronik palsu produksi China dalam sebuah pesawat tempur buatan Amerika[3].
Untuk
membangun sebuah industri pertahanan yang mandiri memang tidak mudah.
Diperlukan berbagai macam upaya dan sumberdaya yang tidak sedikit. Disamping
memerlukan dana yang besar, juga dibutuhkan pengusaan teknologi tinggi. Hal
tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam waktu yang singkat, serta memerlukan
kerjasama berbagai pihak. Kementerian Pertahanan Indonesia sebagai
penanggungjawab utama sistem pertahanan Indonesia memerlukan kerjasama dengan
pihak lain untuk mewujudkan pengembangan industri pertahanan yang mandiri.
Pemberdayaan industri nasional untuk pembangunan pertahanan memerlukan kerja
sama di antara tiga pilar industri pertahanan, yaitu Badan Penelitian dan
Pengembangan serta Perguruan Tinggi, Industri, dan pihak Dephan/TNI, dengan
dibentengi oleh kebijakan nasional yang jelas untuk menggunakan produk-produk
hasil dari putra-putra terbaik bangsa[4].
1.2.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
a. Agar
pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang terdapat dalam industri
pertahanan Indonesia
b. Memberikan
analisa singkat tentang kondisi dan situasi strategis yang ada dalam lingkungan
industri pertahanan Indonesia
c. Memberikan
solusi alternatif untuk dapat dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan dalam lingkungan industri pertahanan Indonesia
1. 3. Rumusan Masalah
Mencermati
industri pertahanan Indonesia, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
a. Kendala-kendala
apa saja yang dihadapi oleh industri pertahanan Indonesia?
b. Apa saja
kebijakan yang perlu diambil untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengembangan
industri pertahanan Indonesia tersebut?
c. Langkah
apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan industri pertahanan Indonesia yang
mandiri?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Dalam buku Minimum Essential Force
Komponen Utama, terbitan Kementerian Pertahanan RI tahun 2010, disebutkan bahwa
definisi MEF adalah suatu standar kekuatan pokok dan minimum TNI yang mutlak
disiapkan sebagai prasarat utama serta mendasar bagi terlaksananya secara efektif
tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual. Masih dalam buku
tersebut disebutkan bahwa salah satu pertimbangan aspek manajemen pertahanan
untuk perumusan renstra dan kepentingan pembinaan TNI, memerlukan perangkat
lima perangkat pendukung. Yang terkait
dengan tulisan ini adalah dua perangkat pendukung yaitu: (1) meningkatnya
jumlah dan kondisi Alutsista TNI ke arah modernisasi Alutsista dan kesiapan
operasional, (2) Terlaksananya peningkatan sarana dan prasarana dan fasilitas
pangkalan militer melalui pembangunan, pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan.
Untuk memenuhi tuntutan modernisasi
Alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana dan fasilitas pangkalan militer,
maka pemerintah Indonesia, dalam hal ini khususnya Departemen Pertahanan RI
tentunya memerlukan kebijakan untuk proses pengadaan bagi hal tersebut. Dalam
buku Defence Procurement and Industry
Policy terbitan Routledge Studies in Defence and Peace Economics tahun
2010, disebutkan bahwa ada beberapa pedoman dalam proses pengadaan dalam bidang
pertahanan, yaitu:
- Local content requirement,
apakah pengadaannya dari industri dalam negeri ataukah dari luar negeri.
- Make-or-buy consideration,
dibuat sendiri atau membeli dari pihak luar.
- Source selection requirement,
cara menyeleksi pemasok, apakah dengan lelang terbuka, atau penunjukan.
- Contracting arrangements,
bentuk kontrak dengan pemasok
- Supplier relation management,
bentuk kerjasama dari mulai proses pengiriman sampai dengan layanan purnajual.
Dari
lima pertimbangan tersebut, dalam prakteknya sekarang ini sebagian besar
pengadaan Alutsista bagi kepentingan TNI, terutama yang mengandung teknologi
tinggi masih didatangkan dari luar negeri. Namun demikian sudah banyak pula
kebutuhan Alutsista TNI yang dipasok oleh industri-industri pertahanan dalam
negeri baik BUMN maupun swasta.
Untuk membangun kekuatan pertahanan
yang mumpuni, idealnya kebutuhan Alutsista TNI seharusnya dapat dipasok oleh
industri-industri yang berasal dari dalam negeri. Bila hal tersebut dapat
dilaksanakan maka ketergantungan terhadap asing menjadi semakin kecil, sehingga
tingkat kerawanan terhadap kesiapan dan kemampuan Alustista TNI dapat
dikurangi. Kasus embargo Alutsista oleh Amerika Serikat dan sekutunya pada
tahun 1999 harusnya menjadi pelajaran berharga guna mengembangkan industri
pertahanan dalam negeri agar mampu memasok kebutuhan Alutsista TNI secara lebih
luas.
Wakil Presiden Asia Pasific Embraer
Brasil, Jao Tolesani Neto dalam Seminar Internasional Indodefence 2012, menyebutkan
bahwa dalam industri pertahanan terdapat fenomena gunung es. Artinya yang
terlihat di permukaan adalah produk dari hasil industri pertahanan tersebut,
tetapi sebenarnya terdapat hal yang lebih besar yang tidak nampak dari
permukaan. Hal tersebut adalah service
providers, industri pertahanan, infrastruktur dan teknologi, technological center (penelitian dan
pengembangan), dan Institusi militer dan universitas. Penelitian dan
pengembangan menjadi salah satu dasar dari terciptanya sebuah produk. Dengan
penelitian dan pengembangan yang mumpuni maka akan dihasilkan pula sebuah
produk yang berkualitas.
Untuk membangun sebuah industri
pertahanan yang mandiri memang tidak mudah. Diperlukan berbagai macam upaya dan
sumberdaya yang tidak sedikit. Disamping memerlukan dana yang besar, juga
dibutuhkan pengusaan teknologi tinggi. Hal tersebut tidak bisa dilaksanakan
dalam waktu yang singkat, serta memerlukan kerjasama berbagai pihak.
Kementerian Pertahanan Indonesia sebagai penanggungjawab utama sistem pertahanan
Indonesia memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk mewujudkan pengembangan
industri pertahanan yang mandiri. Pemberdayaan industri nasional untuk
pembangunan pertahanan memerlukan kerja sama di antara tiga pilar industri
pertahanan, yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan serta Perguruan Tinggi,
Industri, dan pihak Dephan/TNI, dengan dibentengi oleh kebijakan nasional yang
jelas untuk menggunakan produk-produk hasil dari putra-putra terbaik bangsa[5].
Profil
Industri Pertahanan Indonesia
Keberadaan industri pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan dari peran
Prof. B.J. Habibie yang menginisiasi dibentuknya industri strategis[6].
Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983 merupakan langkah awal pembangunan
industri strategis, termasuk industri pertahanan. Keppres tersebut membidani
lahirnya PT IPTN (yang saat ini menjadi PT DI), yang kemudian membidangi
industri pertahanan bidang kedirgantaraan, PT PAL yang membidangi industri
kemaritiman, PT PINDAD yang membidangi persenjataan dan amunisi, PT DAHANA yang
membidangi bahan peledak, dan PT LEN yang membidangi alat-alat elektronika dan
komunikasi pertahanan[7]. Selain kelima perusahaan diatas
terdapat industri strategis lain yang diatur dalam keputusan presiden tersebut,
yaitu: PT. Krakatau Steel, PT. Industri
Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT. Industri Kereta Api (INKA). Selanjutnya
dengan Keputusan Presiden No 44 Tahun 1984, dibentuk Badan Pengelola Industri
Strategis (BPIS). Melalui Keputusan Presiden ini pula terdapat penambahan badan
usaha yang masuk sebagai kategori industri strategis yaitu: PT. Boma Bima
Indra, dan PT. Barata Indonesia, dan peruhahan PT. Nurtanio berubah menjadi PT.
Industri Pesawat Terbang (sekarang PT. Dirgantara Indonesia), UP Lembaga
Elektronika LIPI menjadi UP Lembaga Elektronika Nasional LIPI (sekarang PT. LEN
Industri) dan Perum Dahana menjadi PT. Dahana.
Dari
sekian industri strategis pertahanan tersebut, hasil produksi PT. Pindad yang
mengemuka dan sering dibicarakan oleh banyak pihak. Dalam website www.pindad.com, PT. Pindad
menggolongkan produksi dan jasa yang dihasilkannya dalam beberapa kategori
yaitu: senjata, amunisi, special purpose vehicles, commercial
explosives, forging & casting, mesin industri dan jasa. Senjata SS1
dengan turunan dan berbagai varian serta amunisinya adalah salah satu produk PT
Pindad yang mampu memenuhi kebutuhan senjata ringan bagi TNI. Bahkan senjata
tersebut menjadi senjata standar TNI. Selain itu Panser Anoa 6x6 menjadi
andalan produk PT. Pindad untuk kategori spesial
purpose vehicles. Masih banyak produk lain dari PT. Pindad, selain
menghasilkan produk untuk kepentingan pertahanan juga menghasilkan produk untuk
kepentingan komersil lainnya.
PT
PAL telah mampu memproduksi kapal-kapal jenis korvet, kapal patroli, galangan
pendaratan, tanker, serta dok pemeliharaan kapal perang. PT DI telah
memproduksi pesawat transpor sayap tetap, helikopter, pesawat patroli maritim,
pesawat pengintai, simulator pesawat, serta pemeliharaan dan perbaikan pesawat.
PT LEN telah memproduksi sistem kendali peralatan militer, sistem deteksi,
radar dan sonar, serta peralatan komunikasi militer. Demikian pula, PT DAHANA
telah memproduksi berbagai jenis bahan peledak. Disamping Badan Usaha Milik
Negara Industri Strategis (BUMNIS) tersebut, terdapat perusahaan swasta
nasional yang menghasilkan produk alutsista yang sudah dipakai untuk
kepentingan pertahanan bagi TNI.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1.
Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengembangan Industri Pertahanan.
Pengembangan
industri pertahanan tentunya terkait dengan kondisi perekonomian suatu negara.
Dalam teori ekonomi pertahanan disebutkan terdapat dua ciri khusus dalam
kebijakan pertahanan: pertama adalah rasa aman dan damai adalah barang publik
yang tidak bisa dibanding-bandingkan dan dibatasi. Contohnya adalah rasa aman
dari seorang penduduk yang tinggal di suatu negara sebagai akibat dari
pertahanan oleh tentara negara tersebut adalah sebuah hak setiap warga negara
tersebut dan tidak ada seorangpun yang boleh menghalangi dia untuk menikmati
rasa aman tersebut. Kedua, pemerintah adalah pembeli utama dari produk sebuah
industri pertahanan, dalam beberapa kasus pemerintah adalah pembeli
satu-satunya (monopsoni). Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan
industri pertahanan suatu negara[8].
Dari
teori tersebut terdapat sedikitnya dua hal yang menjadi kendala dalam industri
pertahanan, yaitu dalam kebijakan politik anggaran pertahanan dan kebijakan
pemakaian alutsista produksi dalam negeri. Indonesia sebagai negara demokrasi,
melihat bahwa kebijakan terhadap anggaran suatu program tentunya harus
memperhatikan berbagai kondisi yang ada, termasuk didalamnya kondisi
perekonomian. Demikian halnya dengan anggaran pertahanan, besarnya anggaran
pertahanan Indonesia masih harus dibatasi oleh kemampuan perekonomian Indonesia
yang masih kurang. Hal tersebut akhirnya juga mempengaruhi pengalokasian
anggaran untuk pengembangan industri pertahanan.
Walaupun
pada APBN tahun 2012 ini Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran
yang cukup besar, yaitu Rp74 trilyun, tetapi sebagian besar habis untuk belanja
pegawai dan membayar gaji. Pemerintah tahun ini telah menganggarkan seperempat
dari seluruh anggaran pertahanan untuk
pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). "Kurang lebih 25
persen dari alokasi anggaran sebesar Rp 74 triliun," kata Wakil Menteri
Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di kantor Kementerian Pertahanan, Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Kamis, 9 Februari 2012[9].
Dengan anggaran yang terbatas tersebut Kementerian Pertahanan tentunya belum
dapat melakukan penelitian dan pengembangan sebagai sebuah proses untuk
membangun industri pertahanan sendiri, karena biaya yang dibutuhkan untuk
proses penelitian dan pengembangan tersebut tidaklah sedikit.
Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industri pertahanan adalah
kemampuan industri pendukung lainnya sebagai penyuplai bahan baku[10].
Ini adalah salah satu titik lemah Indonesia, industri bahan baku terutama
industri baja dan hasil logam lain yang sudah hasil produksinya belum mampu memenuhi
kebutuhan bahan baku bagi industri pertahanan. Masih banyak komponen industri
pertahanan Indonesia yang bahan bakunya import dari negara lain.
3.2.
Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Pertahanan
Seperti
disebutkan di atas bahwa kesadaran pemerintah untuk mengembangkan industri
pertahanan sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu, tetapi seiring dengan
berjalannya waktu, berbagai macam kendala dihadapi oleh pemerintah untuk terus
mengembangkan industri pertahanan tersebut. Salah satu pukulan telak dalam
perkembangan industri pertahanan adalah munculnya krisis ekonomi pada era tahun
1998, yang menyebabkan beberapa BUMNIS terpaksa menunda atau bahkan membatalkan
beberapa proyek yang sudah direncanakan. Salah satu yang paling terkenal adalah
kasus PT. Dirgantara Indonesia yang terpaksa menghentikan berbagai proyek
pembuatan pesawat terbangnya. Bahkan PT. DI tersebut terpaksa merumahkan ribuan
pegawainya, bahkan kasus pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan PT. DI
tersebut sampai sekarang belum selesai.
Meskipun
terkendala berbagai hal, kebijakan pengembangan industri pertahanan yang
dilakukan oleh pemerintah sudah pada arah yang benar. Setelah sempat terpuruk
oleh krisis ekonomi, beberapa tahun ini pemerintah bertekat kembali
mengembangkan industri pertahanan yang dimilikinya dengan melakukan
revitalisasi industri pertahanan. Salah satu langkah yang ditempuh adalah
dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2010
tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Dalam perpres tersebut Komite
Kebijakan Industri Pertahanan mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Merumuskan
kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang industri pertahanan;
b. Mengoordinasikan
pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan;
c. Mengoordinasikan
kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan dan mengembangkan industri
pertahanan;
d. Melaksanakan
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan industri pertahanan.
Susunan keanggotaan Komite Kebijakan
Industri Pertahanan terdiri dari :
a.
Ketua : Menteri Pertahanan merangkap anggota
b.
Wakil Ketua : Menteri Badan Usaha Milik Negara merangkap anggota
c.
Sekretaris : Wakil Menteri Pertahanan merangkap anggota
d.
Anggota : 1. Menteri Perindustrian;
2. Menteri Riset
dan Teknologi;
3. Panglima
Tentara Nasional Indonesia;
4. Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam
pelaksanaannya Komite Kebijakan Industri Pertahanan tersebut dibantu oleh
kelompok kerja yang berasal dari pemerintah maupun kalangan profesional
lainnya. Dalam Sidang Pleno Ke-VI KKIP pada tanggal 23 Mei 2012 di PT. PAL
Surabaya, beberapa hal telah dibahas antara lain penyampaian laporan tentang
proses legislasi RUU Industri Pertahanan oleh Tim Asistensi KKIP Bidang Kebijakan
Dr. M. Said Didu dan penyampaian Program Nasional Riset Pertahanan dan Keamanan
oleh Tim Pokja II KKIP Bidang Litbang dan Rekayasa Ir. Teguh Raharjo. Terkait dengan Program Nasional
Riset Pertahanan dan Keamanan yang sedang disusun oleh KKIP, Menhan mengatakan
ini akan menjadi embrio dalam melengkapi road
map dari kegiatan Riset di Bidang Pertahanan dan Keamanan yang sudah
diselesaikan oleh Dewan Riset Nasional. Lebih lanjut Menhan menjelaskan, road map berisi riset pengembangan dan
penerapan dari produk-produk alutsista dan almatsus (alat matra khusus) untuk
Matra Darat, Laut dan Udara serta
Kepolisian. “Semua tercakup didalamnya dan akan menjadi reverensi dokumen dalam
melaksanakan penelitian dan pengembangan penerapan dari teknologi khusus di
dalam industri pertahaan dan keamanan”, jelas Menhan[11].
3.3. Penelitian dan Pengembangan dalam
Industri Pertahanan Indonesia
Pemerintah Indonesia sekarang ini
dengan serius menerapkan kebijakan untuk menghidupkan kembali, serta
mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Hal tersebut dibuktikan dengan
dibentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan disyahkannya UU No 16
tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pada tanggal 5 Oktober 2012 yang lalu.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang industri pertahanan tersebut akan
berlansung dengan baik bila salah satunya adalah didukung adanya penelitan dan
pengembangan dalam bidang pertahanan, khususnya bidang industri pertahanan.
Dalam seminar Indodefence 2012,
Direktur PT Pindad menyebutkan bahwa perusahaannya memang sekarang ini
mengalami banjir order dalam pengadaan Alutsista baik dari dalam negeri maupun
luar negeri, tetapi beliau menekankan bahwa Alutsista yang menjadi andalan
produksi PT Pindad adalah Alutsista dengan teknologi menengah. Dari berbagai
Alutsista yang ditampilkan dalam Indodefence 2012 kemarin, terlihat dengan
mencolok bahwa Alutsista dengan teknologi canggih yang rencananya akan dibeli
oleh Indonesia sebagian besar masih berasal dari luar negeri.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan industri pertahanan dalam negeri dalam membuat produk-produk
Alutsista yang berteknologi tinggi masih kurang. Sebenarnya hal tersebut tidak
mengherankan karena sudah menjadi rahasia umum bahwa perhatian pemerintah
terhadap bidang penelitian dan pengembangan termasuk didalamnya penelitian dan
pengembangan dalam bidang pertahanan masih kurang. Akibatnya penemuan-penemuan
serta kemampuan Indonesia untuk memproduksi berbagai peralatan berteknologi
tinggi menjadi kurang. Indonesia masih suka membeli dari luar dari pada mencoba
memproduksi sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap sektor
penelitian dan pengembangan sebenarnya merupakan salah satu dampak dari krisis
ekonomi tahun 1998 yang baru lalu. Dana untuk penelitian dan pengembangan dalam
berbagai sektor terpaksa dikurangi karena pemerintah lebih terkonsentrasi untuk
membangun kembali infratruktur yang terkait dengan kesejahteraan rakyat serta
yang terkait dengan upaya pemulihan ekonomi. Bidang pertahanan dan keamanan
juga mengalami pemotongan anggaran sebagai akibat dari krisis ekonomi.
Akibatnya sektor penelitan dan pengambangan yang terkait dengan bidang
pertahanan tentunya kurang mendapat perhatian beberapa waktu yang lalu.
Disamping itu tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melakukan penelitian dan
pengembangan sebuah produk peralatan pertahanan memerlukan biaya yang sangat
besar.
3.4. Kemampuan Penelitian dan pengembangan Pada Industri
Pertahanan Yang Diharapkan
Peningkatkan kemampuan penelitian
dan pengembangan pada industri pertahanan di satu sisi memang akan berhadapan
dengan berbagai persoalan seperti sulitnya memperoleh transfer teknologi,
persaingan produk industri pertahanan dengan negara maju. Belum terwujudnya
penelitian dan pengembangan untuk mendukung kebutuhan Alutsista,
dikarenakan pembangunan nasional masih
dititikberatkan di sektor ekonomi serta TNI yang masih lebih suka menggunakan
Alutsista produk Luar Negeri. Di sisi lain apabila kita dapat mencermati
peluang dan kendala dari pengamatan perkembangan lingkungan strategis sekarang
ini, maka kemampuan penelitian dan pengembangan pada Industri pertahanan dapat
ditingkatkan.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas,
akan seperti apa kemampuan penelitian dan pengembangan pada industri pertahanan
yang diharapkan. Disini diperlukan Penelitian dan pengembangan yang lebih fokus
untuk melaksanakan fungsinya, dapat mendukung industri pertahanan yang jelas
arah produksinya, didukung SDM yang berwawasan teknologi pertahanan dan tidak
terkendala dengan pembiayaan penelitian dan pengembangannya, sehingga
harapan-harapan ini dapat terwujud apabila :
a. Bidang
usaha Industri pertahanan harus dapat dispesialisasikan/ dikelompokkan menurut
fungsi dan bidang teknologi pertahanan, yaitu:
1) Industri
yang memproduksi sarana-prasarana/Alutsista yang memfokuskan “daya gerak”
(rantis, ranpur, kapal, pesawat udara).
2) Industri
yang dapat memproduksi senjata, amunisi dan bahan peledak atau yang memfokuskan
“daya tempur”
3) Indusri
yang memproduksi peralatan elektronika untuk keperluan produk K4I (komando,
kendali, komunikasi, komputer dan informasi).
4) Industri
yang bergerak di bidang sistem senjata yang terintegrasi (Fire Control System)
5) Industri
yang bergerak di bidang perbekalan baik yang mempunyai spesiali-sasi bekal
makanan maupun bekal perlengkapan perorangan/prajurit.
b. Industri
pertahanan yang Penelitian dan pengembangannya mampu melaksanakan upaya-upaya
deversifikasi produk industrinya baik untuk keperluan militer maupun non
militer. Hal ini untuk mengantisipasi apabila Negara dalam keadaan damai
tentunya permintaan produk militer berskala kecil. Apabila produk non
militernya diakui dan bisa diterima oleh pasar, maka hal ini akan memperkuat
Penelitian dan pengembangannya untuk produk militer.
c. Industri
pertahanan juga berusaha mengembangkan kemampuan SDMnya dalam rangka penguasaan
teknologi dan investasi teknologi sehingga mempunyai spesialisasi atau
kompetensi sesuai tersebut titik a di atas. Hal ini perlu dilaksanakan, karena
akan memperkuat SDM Penelitian dan pengembangan pada Industri pertahanan itu
sendiri.
3.5. Indikator Keberhasilan Peningkatan
Kemampuan Penelitian dan pengembangan pada Industri Pertahanan
Kemampuan penelitian dan
pengembangan pada Industri pertahanan menunjukkan peningkatan apabila
persoalan-persoalan pada Penelitian dan pengembangan tersebut sebelumnya
menjadi berkurang atau mengecil volumenya. Indikator peningkatan kemampuan
tersebut atau indikator keberhasilannya adalah:
a. Unit
Penelitian dan pengembangan industri pertahanan dapat menjadi sarana untuk
mengejar ketertinggalan teknologi militer dengan berperan aktif memenuhi
persyaratan teknis Alutsista TNI dengan mengukur kemampuan penelitian dan
pengembangan yang dimiliki serta menjajagi kemampuan penelitian dan
pengembangan Angkatan/Kemhan serta perguruan tinggi.
b. Munculnya
produk-produk industri pertahanan dimulai dengan teknologi sederhana namun
telah melewati proses Penelitian dan pengembangan yang dapat dipercaya dan
dapat digunakan TNI sendiri bahkan dapat di eksport untuk digunakan di Angkatan
Bersenjata Negara berkembang.
c. Adanya
sinergi yang saling mendukung/menguntungkan antara Dephan dengan Depperin.
Sehingga Dephan dapat menyampaikan keinginannya untuk mengajak Industri
pertahanan dalam memproduksi Ranahan/Alutsista yang dapat memenuhi persyaratan
teknis pengguna/TNI dan sesuai dengan kelaikan militer. Depperin atau Industri
pertahanan sendiri dapat memahami persyaratan teknis dan persyaratan kelaikan
militer tersebut dalam merancang Ranahan/Alutsista yang dikehendaki pengguna
dengan memberdayakan unit Penelitian dan pengembangannya.
d. Adanya
perangkat lunak yang bersifat mengatur dari Pemerintah mengenai fungsi, peran,
tugas dan tanggung jawab Penelitian dan pengembangan di BPPT/KNRT, Depperin,
Dephan, TNI/ Angkatan, Perguruan Tinggi dan LPND yang lain serta mekanisme
perencanaan dan penganggarannya untuk melaksanakan pembuatan prototipe
Ranahan/Alutsista yang dibutuhkan pengguna /TNI sesuai skala prioritas.
e. Industri
pertahanan dapat menangkap dan memahami jabaran skala prioritas Ranahan/
Alutsista yang dibutuhkan TNI dalam rangka pembangunan kekuatan pertahanan
secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan keuangan Negara.
f. Memperjuangkan
alih teknologi dan kandungan lokal (local contain) yang sebanyak mungkin dalam
setiap kontrak pengadaan Ranahan/Alutsista untuk kepentingan TNI dengan memberi
kesempatan kepada SDM Penelitian dan pengembangan Angkatan/Dephan dan lembaga
Penelitian dan pengembangan yang lain untuk ikut berperan dalam alih teknologi
dan menyediakan sesuatu yang dimaksud dalam kandungan lokal tersebut.
Apabila indikator-indikator
keberhasilan yang telah disebutkan secara bertahap mulai terwujud, maka
Penelitian dan pengembangan Industri pertahanan mulai menampakkan peningkatan
kemampuannya, sehingga hal ini akan berkontribusi terhadap :
a. Meningkatnya
efektivitas pembinaan Industri pertahanan dengan semakin mantapnya arah
pembinaan untuk mewujudkan Industri pertahanan yang memiliki criteria sebagai
berikut :
1) Industri
pertahanan dapat memenuhi kebutuhan Ranahan dalam negeri, meskipun dimulai dari
Ranahan yang berteknologi sederhana.
2) Mampu
meningkatkan produktifitasnya dengan efisien
3) Dapat
memberikan kesempatan kerja/memperluas lapangan kerja sehingga dapat membantu
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4) Mampu
membuat diversifikasi produk Ranahan dan produk komersial dengan menyesuaikan
intensitas terjadinya ancaman ketika Negara dalam keadaan darurat atau dalam
keadaan damai.
5) Didukung
oleh SDM yang mampu menyerap alih teknologi sesuai dengan perkembangan
teknologi Alutsista di Negara maju.
b. Dengan
meningkatnya efektivias pembinaan Industri pertahanan seperti yang telah
dikemukakan tadi maka akan mendukung terwujudnya kemandirian Ranahan.
Kemandirian Ranahan ini bercirikan :
1) Industri
pertahanan yang mampu memfungsikan Penelitian dan pengembangannya guna
menjabarkan persyarat-an teknis Alutsista yang akan dibangun/ diproduksi sesuai
permintaan pengguna/ TNI.
2) Pelibatan
Perguruan Tinggi, profesional dan institusi Penelitian dan pengembangan sebagai
perancang yang dapat menjembatani persyaratan teknis Alutsista tertentu yang
diinginkan pengguna/TNI dengan perkembangan teknologi terkait dengan Alutsista
tersebut, sehingga dapat memberi masukan yang positif kepada Industri
pertahanan (produsen) dalam proses pembuatannya.
TNI/Angkatan sebagai pengguna, yang
dapat menterjemahkan persyaratan/ tuntutan pengoperasian suatu Alutsista yang
akan dibuat menjadi persyaratan teknis yang disesuaikan pula dengan situasi dan
kondisi medan operasi di tanah air kita ini. Persyaratan teknis Alutsista
inilah kemudian yang disodorkan kepada Perancang dan kemudian dibuat oleh
produsen seperti yang dikemukakan di atas[12].
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Kebijakan
pengembangan industri pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah pada
jalur yang benar. Terdapat kendala berupa kemampuan ekonomi yang berdampak pada
alokasi anggaran pertahanan dan struktur industri penunjang yang masih belum
mumpuni.
4.2
Saran
Kendala-kendala
dalam masalah industri pertahanan Indonesia tersebut dapat diatasi dengan:
a. Komitmen
pemerintah yang harus terus menerus dan konsisten dalam arah kebijakan yang
sudah diprogramkan.
b. Keberpihakan
pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan untuk memprioritaskan pemakaian
alutsista yang bisa diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri. Apabila
pemerintah konsisten untuk memprioritaskan pengadaan alutsista oleh industri
pertahanan dalam negeri, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mandiri dalam
industri pertahanan.
c. Perlunya
peningkatan perhatian pemerintah serta peningkatan alokasi dana serta
sumberdaya lain untuk penelitian dan pengembangan dalam sektor industri
pertahanan Indonesia.
Daftar
Pustaka
Departemen
Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008
Hartley,
Keith. 2011. The Economics of Defence
Policy, A New Perspective. Routledge Studies in Defence and Peace
Economics: Abingdon.
Habibi
Yusuf Sarjono, ST, MHan. “Peran Strategis
Pembangunan Industri Pertahanan”, dalam
http://www.tandef.net/peran-strategis-pembangunan-industri-pertahanan
Kementerian
Pertahan RI, 2010. Minimum Essential
Forces, Komponen Utama. Kemenhan RI, Jakarta
Markowski,
Stefan. 2010. Defence Procurement and
Industry Policy, A Small Country Perspective. Routledge Studies in Defence
and Peace Economics: Abingdon.
Neto,
Jao Tolesani. Embraer, A Successful
Strategic Plan, makalah dalam Seminar Internasional Indodefence 2012
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/peningkatan-kemampuan-litbang-pada-industri-pertahanan-indhan
http://www.taonline.com/securityclearances/defense.asp
http://savingusmanufacturing.com/blog/outsourcing/senate-report-reveals-extent-of-chinese-counterfeit-parts-in-defense-industry/
http://www.tempo.co/read/news/2012/02/09/078382895/Seperempat-Anggaran-Pertahanan-untuk-Alutsista
http://dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1198:kkip-menggelar-sidang-pleno-ke-vi-di-pt-pal-surabaya&catid=36:iptek-a-pendidikan&Itemid=61
[1] Departemen Pertahanan
Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, hlm 156
[2]
http://www.taonline.com/securityclearances/defense.asp
[3]
http://savingusmanufacturing.com/blog/outsourcing/senate-report-reveals-extent-of-chinese-counterfeit-parts-in-defense-industry/
[4] Op.cit. Departemen
Pertahanan Republik Indonesia, hlm 158
[5] Op.cit. Departemen
Pertahanan Republik Indonesia, hlm 158
[6] Habibi Yusuf Sarjono,
ST, MHan. “Peran Strategis Pembangunan
Industri Pertahanan”, dalam http://www.tandef.net/peran-strategis-pembangunan-industri-pertahanan
[7] Op.cit. Departemen
Pertahanan Republik Indonesia, hlm 158
[8] Hartley, Keith. The Economics of Defence Policy, A New
Perspective.(Abingdon: Routledge Studies in Defence and Peace Economics,
2011), hlm. 3.
[9] http://www.tempo.co/read/news/2012/02/09/078382895/Seperempat-Anggaran-Pertahanan-untuk-Alutsista
[10]
Markowski, Stefan. Defence Procurement
and Industry Policy, A Small Country Perspective. .(Abingdon: Routledge Studies in
Defence and Peace Economics, 2010), hlm. 163.
[11]
http://dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1198:kkip-menggelar-sidang-pleno-ke-vi-di-pt-pal-surabaya&catid=36:iptek-a-pendidikan&Itemid=61
[12] http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/peningkatan-kemampuan-litbang-pada-industri-pertahanan-indhan
Kepada Yth,
BalasHapusPerusahaan Pemerintah BUMN & Swasta
PT, LTD, TBK
Up : Pimpinan / Finance Manager
Perihal : Penawaran Penerbitan Bank Garansi & Asuransi Tanpa Agunan / Non Collateral
Dengan Hormat,
Perkenalkan kami dari PT. MEKARJATI JAYA LESTARI(Consultan Bank Gransi & Insurance) dimana perusahaan kami telah di tunjuk untuk memasarkan Bank Garansi & Surety Bond bahkan perusahaan kami telah di Back Up oleh Perusahaan Asuransi Kerugian Swasta Nasional Maupun BUMN. Bank Garansi & Surety Bond yang kami terbitkan diterima di instansi pemerintah, maupun Swasta, (BUMN, BUMD, KPS, PERTAMINA, CNOOC, MABES TNI, MABES POLRI, TOTAL E & P INDONESIA) Di sini kami memberikan procedure yang relative mudah yaitu Tanpa Agunan (Non Collateral) serta polis jaminan kami antar :
Jenis Jaminan,
1.Jaminan Penawaran / Bid ( Tender) Bond.
2.Jaminan Pelaksanaan / Performance Bond.
3.Jaminan Uang Muka/Advance.
4.Jaminan Pemeliharaan / Maintenance Bond.
5.Paymen Bond (Surety Bond)
Salam
muktyali
Hp. 0812 89411452
Email: muktyali19@gmail.com
PT.MEKARJATI JAYA LESTARI
(Konsultan Bank Garansi & Surety Bond)
Tlp : 021 29833066 / Fax : 021 29833067
Pemasaran :
Jl. H Ten N0.8 Kec.Kayu Putih Kel.Pulogadung Jakarta Timur 13210
Area lampiran